Laila's Profile

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon



UPACARA LARUNG DI KENJERAN SURABAYA:
STUDI KASUS HILANGNYA EKSISTENSI LARUNG AKIBAT PENGARUH
 DAKWAH KYAI BUKHORI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Islam di Jawa berkembang melalui pesisir dan terus berkelanjutan ke wilayah pedalaman. Kontak kebudayaan antara para pendatang yang sering singgah di wilayah pesisir pada masa-masa awal Islam di Jawa menyebabkan adanya tarik menarik antara budaya lokal dengan budaya [1]luar yang tak jarang menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat, kemudian yang terjadi ialah sinkretisme atau akulturasi budaya. Hal inilah yang kemudian membentuk suatu sub kultur budaya baru yang kemudian bisa saja menghilangkan budaya lama yang berkembang sebelumnya.
Wilayah pesisir Pantai Utara Jawa memiliki suatu keunikan tersendiri yang menyebabkan adanya perbedaan dalam hal ritual keagamaan, ritus lingkaran hidup dan pola-pola kepercayaan masyarakat, jika dibandingkan dengan ritual-ritual yang ada pada masyarakat pesisir Pantai Selatan Jawa. Hal ini sebagian banyak disebabkan oleh adanya pola Islamisasi dan dakwah Islam yang terjadi akibat pengaruh para wali dan ulama-ulama penyebar dakwah Islam pada saat itu. Sehingga, lambat laun akhirnya membuat ritual-ritual dan aspek religi masyarakat pesisir secara bertahap kemudian hilang eksistensinya.
Masyarakat Pantai Kenjeran merupakan salah satu contoh wilayah pesisir Pantai Utara Jawa, yang dalam kehidupan masyarakatnya telah mengenal tradisi upacara Larung sesaji di Laut dari warisan nenek moyang mereka. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan kuatnya intensitas dakwah yang dilakukan oleh salah satu ulama di sana. Akhirnya menimbulkan hilangnya tradisi larung sesaji dalam kehidupan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, penelitian secara mendalam dan observasi di lapangan sangat diperlukan untuk menggali informasi mengenai penyebab hilangnya eksistensi budaya upacara larung dan kemunculan budaya baru sebagai pengganti upacara larung dalam kehidupan masyarakat Kenjeran.
           
1.2  Rumusan Masalah
Memahami dinamika budaya pada suatu masyarakat tertentu dalam kajian wilayah, diperlukan suatu analisis mendalam tentang wilayah tersebut dan bagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat serta ritus-ritus dan ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Maka, berdasarkan uraian tersebut, permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa yang menyebabkan eksistensi budaya upacara larung di Kenjeran menjadi hilang?
2.      Bagaimana wujud ritual pengganti upacara larung yang setelah budaya tersebut hilang di masyarakat Kenjeran?

1.3  Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan suatu pemahaman analitis etnografis terhadap sebab-sebab hilangnya eksistensi upacara larung dalam kehidupan masyarakat Kenjeran di Era Modern sekarang ini. Dengan pemahaman semacam ini maka diharapkan dapat menemukan suatu kesimpulan general terhadap gerak budaya yang senantiasa dinamis.
Melalui pengungkapan wujud ritual pengganti upacara larung di Kenjeran ini, akan memberikan suatu pemahaman baru bahwa meskipun upacara larung telah ditiadakan dan hilang dari kehidupan masyarakat Kenjeran. Namun, ternyata terdapat berbagai macam ritual lain sebagai pengganti yang dibilang lebih islami dan jauh dari kemusyrikan.

1.4  Metode Penelitian
1.      Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian ini memilih wilayah Kenjeran sebagai lokasi penelitian, khususnya daerah kelurahan Bulak Rukem, Kejawanlor, karena daerah wilayah kenjeran tersebut masih banyak terdapat beberapa bentuk sistem kepercayaan yang masih dijalankan, seperti upacara selamatan perahu dimana banyak masyarakat daerah Kenjeran masih menganggap upacara tersebut bisa memberikan mereka keselamatan atas adanya perahu baru, acara ini dilaksanakan oleh masyarakat Bulak Rukem setiap ada beberapa orang yang telah membeli kapal atau perahu baru dimana mereka juga bermata pencaharian nelayan di laut kenjeran, sehingga masih banyak masyarakat menganggap upacara tersebut penting dan bernilai sakral.
2.      Penentuan Informan
Penentuan informan yang kita dapat adalah seorang tokoh masyarakat yang dulunya adalah orang yang merupakan saksi dari proses adanya upacara larung sampai dengan proses terkikisnya upacara itu sendiri, tokoh masyarakat tersebut banyak masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama Gus Yasin, beliau merupakan saksi yang sekarang telah meninggalkan kepercayaan dari upacara tersebut, karena beliau telah menyebutkan bahwa pendahulunya adalah orang yang telah membawa ajaran-ajaran islam masuk kedalam masyarakat pesisir wilayah Bulak Rukem, Kejawan Lor. Pendahulunya adalah seorang yang dulunya adalah pemuka agama islam yang baru datang dan kemudian mulai menyebarkan agama Islam dan kemudian banyak masyarkat yang kemudian banyak memeluk agama Islam, namun tidak sedikti pula masyarakat Kejawan Lor Bulak Rukem yang menganut ajaran agama Islam masih banyak memberlakukan upacara-upacara yang mana dalam ajaran Islam sebenarnya tidak diperkenankan.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data kita menggunakan tekni observasi langsung namun tidak menjadi partisipan, karena di wilayah Kenjeran , Bulak Rukem, Kejawan Lor, sudah tidak menjalankan upacara larung tersebut, sehingga, dalam teknik pengumpulan data ini kita lebih menggali sumber dari wawancara tokoh masyarakat, karena dalam teknik pengumpulan sumber dengan cara menjadi partisipan sangat tidak dimungkinkan, sehingga yang bisa dilakukan untuk menggali sumber informasi tentang upacara larung tersebut kita lebih banyak menggunakan teknik wawancara.
4.      Teknik Analisis Data
Penelitian ini lebih menggunakan metode kualitatif dimana dari beberapa informan telah menyebutkan dan mendiskripsikan bagaiamana pelaksanaan dan tata cara dari upcara larung tersebut, disini kita menggunakan cara etik, dimana proses penelitian telah banyak menemukan informasi yang telah diungkapkan oleh nara sumber dimana informan tersebut banyak mengungkapkan tentang bagaimana manfaat dan fungsi yang dirasakan oleh masyarakat pesisir dearah Kejawan Lor, dimana proses terkikisnya upacara larung tersebut telah memberikan banyak manfaat masyarakat Kejawan Lor yang mereka ungkapkan dengan cara budaya baru yang menganut ajaran agama islam, seperti tahlilan, istighosah, dan beberapa uapacara yang masih menganut paham asli jawa (kejawen). Sehingga setelah adanya ajaran agama islam yang dibawa oleh Kyai Bukhori, sistem kepercayaan yang dulunya adalah bagaimana masyarakat mensyukuri hasil lautnya dengan upacara Larung, sekarang lebih mudah dilaksanakan seperti tahlilan, istighosah,slametan (kejawen) dan beberapa acara yang mana sekarang  dijalankan oleh masyarakat yang mayoritas beragama islam karena tidak terlalu banyak memakan biaya serta waktunya lebih singkat dari pada upacara  larung tersebut.

 BAB 11  PROFIL WILAYAH KENJERAN SURABAYA

2.1  Demografi Wilayah Kenjeran
Kecematan Kenjeran terletak di Surabaya bagian utara. Kecamatan Kenjeran terletak di daerah pesisir Kota Surabaya Kecamatan Kenjeran terletak pada 55’30’5” LU dan 37’20’3” BT. Luas wilayah Kecamatan Kenjeran 14,42 km atau sekitar 4,42% dari luas total wilayah Kota Surabaya. Lokasi Kecamatan Kenjeran daapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Kenjeran dibagi dalam empat keluruhannya , yaitu : Kelurahan Sidotopo Wetan, Kelurahan Tanahkali Kedinding, Kelurahan Bulak Banteng, Kelurahan Tambak Wedi. Jumlah penduduk Kecamatan Kenjeran yaitu laki-laki sebanyak 64.630 jiwa dn perempuan sebanyak 62.993 jiwa.[2]
Sebagian besar penduduknya (90%) adalah pendatang dari luar Surabaya. Dari data yang diperoleh, didapatkan gambaran bahwa penduduk pada setiap keluarga memiliki jumlah anak yang cukup banyak. Dengan banyaknya keluarga yang ditanggung denjgan penghasilan yang tidak menentu maka kesempatan anak-anak mengenyam pendidikan masih sedikit. Kondisi sosial budaya masyarakat menunjukkan suatu ciri masyarakat pedesaan, yang ditunjukkan dengan adanya keakraban, guyub, kebersamaan antar tetngga walaupun lingkungannya sudah berupa perkotaan. Dengan demikian karakter kehidupan pedesaan masih mendominasi sistem perilaku sosial budaya mereka. Dengan kondisi pendapatan yang minim, ditambah kewajiban membayar uang sewa rumah yang cukup membebani, menyebabkan tidak tersedianya dana lebih untuk memperbaiki atau meningkatkan kesehatan lingkungannya.
           
2.2  Sistem Kepercayaan
            Islam datang, berkembang dan melembaga di Nusantara melalui proses yang panjang. Pergumulan di dalam proses Islamisasi di Nusantara, sekurang-kurangnya menghasilkan empat teori besar tentang: dimana, kapan, dari mana Islam datang dan berkembang di Nusantara. Islam datang di Nusantara melalui wilayah-wilayah pesisir pada saat itu. Nama-nama pelabuhan seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya sudah tidak asing lagi. Pelabuhan-pelabuhan ini menjadi daerah transit bagi kaum pedagang yang akan berdagang ke pusat kerajaan Majapahit, yaitu melewati Pelabuhan Surabaya, kemudian  ke Sungai Brantas dan terus ke Majapahit. Lambat laun, mereka membentuk koloni-koloni yang menetap dan menyebarkan keyakinan-keyakinan keberagamaannya.[3]
            Proses Islamisasi ini yang akhirnya mengikis dan menghilangkan sistem kepercayaan yang sebelumnya pernah dianut masyarakat pesisir. System kepercayaan itu berupa ritual-ritual penyembahan terhadap dewa maupun pada leluhur mereka. Islam yang menyebar dan menggantikan system kepercayaan warga pesisir ini kemudian membuat kebudayaan berupa ritual-ritual tertentu sedikit demi sedikit menghilang dan tergantikan oleh budaya islam atau sering disebut budaya pesisir Islam.
            Keyakinan tentang Allah dapat disimak dari pujian-pujian yang diselenggarakan sebelum sembahyang berjama’ah. Dalam konsepsi sebagian besar orang, Allah di gambarkan sebagai dzat yang berwujud, terdahulu, kekal, berbeda dengan makhluk lainnya, berdiri dengan sendirinya, esa, mencipta, menentukan yang hidup, yang mendengar, yang melihat, yang berbicara, yang mentakdirkan, yang berilmu, yang menghidupkan, yang mendenngarkan, yang memperlihatkan, dan yang memfirmankan Allah digimbarkan dalam kata yang Maha Sempurna, Maha Kuat, dan Maha Perkasa.[4]
            Menurut keyakinan lokal,jumlah dan kualitas makhluk halus pun bervariasi. Bahkan di masing-masing entitas kebudayaan memiliki makhluk halusnya sendiri-sendiri, biasanya sering dijumpai di kampung-kampung pedalaman khususnya masyarakat Jawa. Keyakinan tentang makhluk halus juga erat kaitannya di dunia social atau konteksnya. Demikian pula dengan masyarakat nelayan juga memiliki keyakinan tentang makhluk halus yang berbeda karena konteks lokalnya. Beberapa tempat diyakini dijaga oleh makhluk halus. Pada awalnya mereka menghormati adanya makhluk halus tersebut dengan menaruh sesajian berupa kembang setaman di tempat yang mereka yakini di tunggu oleh makhluk halus. Salah satu yang melaksanakan ritual tersebut bernama Wak Sima. Menurut penuturan dari Bu Ummah salah satu warga yang tinggal di kawasan pesisir kenjeran.

2.3  Mata Pencaharian
Di Indonesia, terdapat sekitar 8.090 desa pesisir di 300 kabupaten dan kota di mana bermukim sekitar 16,42 juta warga yang bermata pencarian sebagai nelayan, pembudi daya ikan, pengolah, pemasar dan pedagang hasil perikanan. Selama berabad-abad wilayah pesisir membentang disepanjang wilayah pantai utara dan memegang peran penting dalam membangun kontak dengan dunia luar.Kehidupan nelayan sangatlah identik dengan wilayah pesisir. Oleh sebab itu kebanyakan masyarakat pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan.
Nelayan Pesisir Kenjeran Surabaya membentuk sebuah lingkungan pemukiman sendiri yang memiliki sosial budaya yang khas yaitu mencari dan menangkap ikan. Nelayan mencari ikan dengan menggunakan bubu dan jaring. Bubu adalah alat yang terbuat dari bambu yang dijalin sedemikian rupa dan digunkan nelayan pesisir untuk menangkap ikan. Sedangkan penggunaan jaring, biasanya dengan diberi beberapa pelampung di penjuru jaring agar keadaanya tetap terapung. Selanjutnya jaring didiikat pada kayu yang telah ditancapkan di areal yang dangkal agar tidak hanyut, ketika air surut saat itulah jaring siap untuk diangkat. Pada umumnya nelayan memakai perahu sampan atau perahu bermotor untuk merentangkan dan mengangkat jaring tersebut.
Aktifitas nelayan ini dimulai sekitar pukul 05.00 mulai berlayar dan kembali mendarat pukul 14.00. Hasil tangkapan nelayan tidak menentu karena dipengaruhi oleh musim dan ombak dari selat madura. Rata-rata sekali melaut nelayan kenjeran bisa menghasilkan 40kg sampai 100 kg ikan. Dalam sehari penghasilan nelayan tidak tentu, terkadang 30 ribu sampai 100 ribu. [5] 

Bab III Analisis Data

3.1 Faktor Penyebab Hilangnya Tradisi Larung di Kejawan Lor
a. Tradisi Larung sebelum Dakwah Kyai Bukhori

Upacara larung dan petik laut merupakan salah satu tradisi masyarakat Pantai Utara Jawa yang telah berkembang sejak dahulu di kawasan Pesisir Jawa. Begitu juga upacara ini berkembang subur di daerah pesisir Kenjeran Surabaya. Upacara Larung merupakan salah satu ritual upacara masyarakat yang mempunyai arti yakni menghanyutkan.[6] Dalam hal ini diartikan bahwa larung merupakan ritual menghanyutkan sesuatu di laut atau di sungai dengan tujuan tertentu.
Menurut pernyataan salah satu informan, upacara larung merupakan suatu upacara yang telah dilakukan masyarakat Kenjeran Utara, terutama masyarakat Kejawan Lor. Upacara ini pada saat itu dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat  bernama Wak Sima. Wak Sima inilah yang biasa memimpin upacara larung ini. Upacara larung biasanya dilakukan setiap setahun sekali pada Bulan Suro  menurut penanggalan Jawa.[7] Adapun fungsi dan tujuan dari upacara larung ini adalah:
1.       Wujud rasa ikhlas terhadap hasil laut yang diperoleh selama satu tahun
2.      Sebagai perwujudan penghormatan terhadap sesepuh desa (yang menjaga desa)
3.      Sebagai upacara untuk memohon keselamatan ketika melaut
4.      Sebagai permohonan agar rezeki dan perolehan ikan hasil tangkapan selama di laut dapat lancara dan berlimpah[8]
Upacara larung sesaji ini merupakan serangkaian upacara melarungkan sesaji yang dibawa oleh kapal-kapal  nelayan menuju suatu pancang batas laut di bagian tengah yang biasa disebut turus. Turus ini merupakan batas melaut orang Kenjeran yang biasa diwujudkan dengan pendirian pohon kelapa di tengah laut yang dalam penancapannya dilakukan oleh para nelayan setempat dengan cara gotong royong (bersama-sama). Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan  karena langkanya pohon kelapa ini, maka batas tengah laut atau turus ini digantikan dengan pohon bambu. Setelah upacara larung ini dilakukan, ritual selanjutnya yakni selamatan atau tasyakuran, upacara ini berupa makan bersama dengan warga desa setempat dan nelayan-nelayan. Selamatan ini merupakan wujud kehidupan guyub rukun masyarakat nelayan Kenjeran.[9]
Adapun hal yang dibawa pada saat larung sesaji  di laut adalah nasi tumpeng kuning dan putih beserta lauk-pauknya, urap-urap, ikan-ikan laut hasil tangkapan yang telah dimasak, kembang tujuh rupa. Selain itu di acara Selamatan atau tasyakuran ini terdapat masakan-masakan yang memang wajib dikelurkan oleh pemilik perahu atau juragan perahu. Adapun masakan yang biasa dikeluarkan saat selamatan adalah :
a.       Lauk pauk berupa: telur, ayam panggang, sambel kelapa, mie goreng, tumis kacang dan kangkung (oseng-oseng), kuah kare, ikan asap, ikan asin dan urap-urap  
b.      Nasi, berupa: nasi putih dan nasi kuning
c.       Jajan Pasar, berupa : kucur, onde-onde, kue rangin
d.      Buah-Buahan, berupa: jeruk, apel dan semangka
e.       Minuman, berupa: aqua dan teh manis[10]
b. Pengaruh Dakwah Kyai Bukori
            Dalam menyiarkan dan menyebarkan agama Islam di desa Kejawan Lor Kenjeran, sosok Kyai Bukhori memiliki pengaruh kuat dalam pengaruh persebaran Islam di wilayah Kenjeran. Kyai Bukhori sekaligus tokoh yang merubah budaya larung di  masyarakat pesisir Kenjeran menjadi budaya yang bersyariah ke-islaman. Setiap malam kamis kyai mengisi ceramah yang mengupas soal-soal Islam. Kegiatan lain yang dilakukannya adalah mengisi ceramah pada setiap setelah sholat Subuh. Kegiatan pengajian dan ceramah agama menjadi keseharian dan kegiatan yang dilakukan kyai Bukhori untuk mengajak masyarakat pesisir Kenjeran dalam menjalankan syariat Islam.
Kyai Bukhori sendiri merupakan salah satu tokoh masyarakat yang merintis dakwah agama Islam di desa Kejawan Lor, ia adalah salah satu alumni dari Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang., yang menurut informan ketika masa hidupnya memiliki berbagai keistimewaan seperti ahli kanuragan, guru agama, kyai dan sebagainya. Dan selalu menjalankan dakwahnya untuk berusaha menghilangkan sedikit-demi sedikit kesyirikan dalam larung sesaji yang biasa dilakukan oleh warga Kenjeran. Kyai Bukhori sendiri meninggal pada usia diatas 90 tahun pada tahun 1993. [11]
Sebagai ganti dari upacara larung sesaji ini kemudian dikembangkan ajaran-ajaran Islam yang lebih mengarah pada ajaran Ahlu-sunnah wal Jama’ah (NU), yang secara kultural di wilayah kenjeran utara pada umumnya yakni Tahlilan, Istigotsah, Khataman Al-Qur’an, Diba’iyah, pengajian-pengajian akbar dan sebagainya. Acara-acara tersebut biasanya dilakukan saat hari-hari besar Islam seperti idul Fitri, Maulud Nabi, Isra’ Mi’raj dan sebagainya. Namun kultural tersebut masih tidak meninggalkan budaya jawa, dimana mansyarakat kejawanlor yang telah memeluk agama Islam dan menjalankan ajaran agama Islam  masih banyak mencampurkan ajaran Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah dengan budaya jawa (kejawen). 
Namun perayaan yang paling ramai adalah ketika perayaan Maulud Nabi, pada hari ini semua warga desa akan mengeluarkan semua makanan yang biasanya berupa nasi, lauk-pauk berupa ikan hasil tangkapan dan sebagainya.
3.      Larung ala Masyarakat Luar Kenjeran
Masyarakat Pesisir Jawa adalah satu masyarakat yang tak bisa dipisahkan dari tradisi menghormati nenek moyang, yang ditunjukkan dengan ritus slametan. Jika orang Jawa dipisahkan dari slametan, maka hilanglah sosok ke-Jawaan mereka. Dan memang tradisi slametan bukan hanya monopoli warga pedalaman Jawa, para nelayan yang hidup di sepanjang pantai Laut Jawa pun juga memiliki tradisi slametannya sendiri. Larung atau biasa di sebut dengan Petik Laut adalah salah satu bentuk slametan tersebut.
Namun yang tak kalah penting, di balik ritus bahari tersebut bukan hanya etnis Jawa saja yang melaksanakan Larung di kawasan kenjeran, melainkan etnis Tionghoa yang ada di Surabaya pun juga melakukan Larung dan orang-orang Jakarta di Surabaya juga melakukan Larung di Kenjeran. Karena menyakini bahwa ada penguasa gaib di laut, yang kepadanya mesti diberi persembahan agar mereka terhindar dari murkanya, dan sebaliknya mendapat limpahan berkah. Dasar pemujaan mereka adalah ketakutan akan kekuatan Yang Mahadahsyat.
Tradisi etnis Tionghoa cara larungnya berbeda dengan larung massyarakat Jawa, perbedaan larung etnis Jawa dengan etis Tionghoa adalah, etnis Jawa itu melarungkan sesaji-sesaji berupa kembang, dupa, wangi-wangian dan di iringi dengan bacaan do’a-do’a terntu yang di pimpin oleh dewan adat. kalau etnis Tionghoa yang di Larungkan bukan sesaji-sesaji kembang atau pun menyan tapi ari-ari dari ibu yang setelah melahirkan anaknya yang melarungkan ari-ari tersebut adalah suami dari Ibu yang melahirkan.
Untuk masyarakat Jakarta yang ada di Surabaya tradisi larung itu bertujuan untuk tolak balak atau buang sial. Cara Larung masyarakat Jakarta dengan masyarakat Jawa itu sama tapi yang membedakan adalah fungsinya. Masyarakat Jawa melakukan Larung berdasarkan tersirat adanya pernyataan syukur, ekspresi rasa terima kasih atas anugerah yang telah diberikan, kalu masyarakat Jakarta melakukan Larung agar di jauhkan dari sifat-sifat jelek yang tidak di inginkan, dan mendapatkan sesuatu yang baik-baik.[12]

3.2 Ritual Pengganti Tradisi Larung yang Hilang
a. Selamatan Perahu dan Ritual Keagamaan Bernuansa Islam
            Masyarakat pesisir khususnya daerah Kenjeran Utara setelah upacara larung mulai terkikis, kemudian  cara masyarakat menungkapkan rasa syukurnya yakni banyak mengalami perubahan dikarenakan ada ajaran agama Islam yang masuk di dalam masyarakat Kejawan Lor tersebut, beberapa contoh masyarakat Kejawan Lor yang masih banyak melakukan upacara-upacara yakni seperti selamatan perahu acara ini diberlakukan oleh masarakat Kejawan Lor sebagaia ungkapan rasa syukur mereka karena telah mendapatkan perahu dengan usaha mereka sendiri bekerja di laut Kenjeran, tata cara mereka mengungkapkan rasa syukur mereka lewat upacara selamatan perahu ini cukup unik, dimana orang yang mempunyai kapal atau perahu baru kemudian menyiapkan beberapa makanan yang diletakan di tengah-tengah perahu mereka yang baru dan posisi mereka berdiri di tengah kapal atau perahu mereka dengan membawa beberapa uang logam, tujuan berbagai makanan diletakan di tengah-tengah kapal atau perahu mereka yang baru, karena untuk mengungkapakan bahwa inilah hasil yang mereka peroleh selama bekerja menjadi nelayan di pantai kenjeran, kemudian dengan disaksikan oleh banyak orang, orang yang punya kapal atau perahu tersebut kemudian setelah berdoa mereka melempar-lemparkan uang logam yang dibawanya kepada masyarakat yang ikut melihat upacara tersebut.[13]
            Upacara ini sudah berlangsung lama namun masih dipertahankan oleh masyarakat Kenjeran guna melestarikan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para pendahulu mereka, namun tidak sedikit pula beberapa upacara atau ritual ritual yang kemudian setelah masuknya ajaran agama Islam di daerah Kejawan Lor mulai terkikis dan perlahan hilang, karena masyarakat Kejawan Lor kemudian yang mayoritas beragama islam mulai meninggalkan ajaran ajaran yang tidak termasuk dalam ajaran agama islam.
            Setelah banyak masyarakat Kejwan Lor memeluk agama Islam nilai nilai budaya yang ada didalam masyarakatnya pun bertahap mulai berubah,  beberapa bentuk budaya baru dimana budaya yang sebelumnya masyarakat Kejawan Lor mayoritas Jawa, kemudian banyak yang mulai memeluk agama Islam dan mengikuti ajaranya, sebuah kebudayaan tidak begitu langsung hilang dimata masyarakat Kejawan Lor, karena masih banyak pula dari beberapa masyarakat Kejawan Lor yang memeluk agama Islam masih banyak yang mencampurkan dengan budaya Jawa (kejawen), seperti acara tahlilan, istighosah, dan lain-lain yang mana banyak tata cara tatacara yang masih  mengacu ke dalam budaya Jawa, dimana seperti slametan  itu adalah berasal dari budaya jawa. nuansa keagamaan disini berasal dari beberapa masyarakat Kejawan Lor yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai budaya namun mereka mulai memeluk agama Islam dan menjalankan ajarannya. bernuansa Islam seperti sudah adanya syarat- syarat yang dilakukan untuk seseorang sebelum dan sesudah masuk agama Islam yang pada waktu itu paling banyak masyarakat Kejawan Lor mengikuti aliran ahlu-sunnah waljamaah (NU).

b. Hiburan Masyarakat Nelayan
            Masyarakat nelayan Kenjeran memiliki suatu kegiatan rutin setiap tahun untuk mengadakan semacam hiburan rakyat bagi kaum nelayan. Hiburan ini pun terkadang diselenggarakan dan didanai oleh Pemerintah Kota Surabaya, partai-partai yang berkampanye, institusi swasta, perusahaan, bahkan sampai Perguruan Tinggi di Surabaya. Fungsi dan tujuan dari pelaksanaan hiburan untuk nelayan ini pun bervariasi menurut maksud dan tujuan penyelenggara terkait. Biasanya wujud hiburan yang diselenggarakan berupa lomba perahu hias, lomba mendorong perahu dan lomba perahu layar.
1.      Lomba Perahu Hias
Salah satu contoh lomba perahu hias ini adalah lomba perahu hias yang diadakan oleh perguruan tinggi di Surabaya (ITS) yakni Himatekpal, yang saat itu memang di selenggarakan bagi nelayan Kenjeran. Lomba perahu hias ini kemudian dirangkai dengan lomba  olahraga sailing.


Gambar 2. Persiapan Lomba Perahu Hias (dalam pengecatan perahu)
2.      Lomba Mendorong Perahu
Lomba mendorong perahu ini menurut penuturan informan diselenggarakan oleh warga sekitar nelayan yang kemudian bekerja sama dengan TNI AL dan Polri Surabaya untuk memperingati hari Air Internasional. Sejumlah anggota TNI, Polisi, dan warga masyarakat mengikuti lomba dorong perahu di kawasan Pantai Nambangan, Kenjeran, Surabaya pada hari Minggu, 24 Maret 2013. Lomba digelar sebagai untuk menjaga persatuan dan kesatuan anggota masyarakat baik TNI dan Polri. Setiap tim terdiri dari delapan orang dan diharuskan mendorong perahu di laut berjarak 30 meter bolak-balik. Para pemenang mendapatkan hadiah uang tunai dan barang elektronik dari panitia. [14]


Gambar 4. Lomba Dorong Perahu
3.      Lomba Perahu Layar
Salah satu wujud lomba perahu Layar adalah lomba yang diadakan oleh Pemerintah Kota Surabaya yang kemudian mempercayai UPTD Kenjeran untuk menyelanggarakan lomba perahu layar. Lomba ini memiliki tujuan untuk  mengapreasiasi para nelayan di sekitar Pantai Ria Kenjeran dan untuk menarik wisatawan untuk datang ke Pantai Ria Kenjeran. Lomba perahu layar yang diikuti oleh 60 perahu layar tersebut digelar dalam rangka memperingati HUT Kota Surabaya ke 719 pada tanggal 26 Mei 2012. [15]
Adanya lomba ini memberikan suatu hiburan tersendiri bagi masyarakat nelayan Kenjeran di luar rutinitas yang semula hanya berkutat menangkap ikan di laut saja. Lomba ini pun sangat menarik karena dibungkus dengan hadiah yang besar berupa tropi dan uang binaan. Oleh karena itu tak heran kalu peserta yang mengikuti acara tersebut bukan hanya berasal dari warga sekitar nelayan pantai Kenjeran saja, namun dari Madura juga.[16]


Gambar 5. Lomba Perahu Layar

BAB IV
PENUTUP
     4.1 KESIMPULAN
            Perkembangan Islam di wilayah Nusantara membawa dampak pada perubahan sebuah budaya dalam masyarakat. Hal tersebut dapat ditelusuri pada masyarakat pesisir yang terjadi di wilayah desa Kejawan Lor, Kenjeran. Sebelum Islam berkembang kuat di wilayah itu, penduduk setempat banyak melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan hal yang berbau animisme dan dinamisme yang merupakan warisan dari leluhur mereka. Upacara larung merupakan contoh konkret budaya yang berhubungan dengan animisme dan dinamisme yang merupakan sebuah adat kebiasaan masyarakat setempat. Upacara Larung diikuti oleh seluruh masyarakat desa... kenjeran. Upacara ini dipimpin oleh seirang sesepuh desa yang sekaligus bertindak sebagai pemimpin jalannya upacara larung. Kegiatan upacara ini diadakan setidaknya tiga kali dalam satu tahun.
            Upacara Larung kemudian mulai terkikis dan menjadi hilang setelah meninggalnya Waksima dan sudah tidak ada pewaris yang bisa memimpin upacara larung. Hilangnya upacara Larung ini di ikuti dengan kehadiran sosok Kyai Bukhori yang lambat laun memiliki pengaruh yang kuat dalam mendakwahkan Islam secara “murni”. Dalam mendakwahkan masyarakat pesisir desa Kejawan Lor, Kyai Bukhori selalu memberikan ceramah Subuhan setelah menjalankan sholat Subuh di Mushola. Ceramah yang diberikan mengajarkan mengenai Islam dalam kehidupan manusia. Beliau juga mengadakan Ceramah Agama setiap malam Kamis Legi. Sejak saat itu budaya Upacara Larung di pesisir desa Kejawan Lor, .Kenjeran hilang dan tergantikan dengan kegiatan-kegiatan yang berunsurkan Islami. Selain itu untuk lebih meramaikan daerah pesisir sebagai pengganti Budaya larung, di adakan lomba menghias peruhu dan lomba perahu layar. Kegiatan ini di selenggarakan oleh pemerintah kota Surabaya maupun oleh instansi-instansi swasta dan lembaga partai.
    4.2 SARAN
            Kegiatan yang bersifat positif seperti kegiatan-kegiatan yang berunsur Islami harus tetap dilakukan. Karena akan membawa dampak positif dalam kehidupan masyarakat setempat. Selain itu kegiatan menghias perahu atau kegiatan perahu layar selayaknya harus dijadikan sebuah even nasional untuk lebih mengenal daerah pesisir Surabaya yaitu Kenjeran. Kegiatan tersebut bisa menambah pemasukan daerah sekaligus lebih menggerakkan roda perekonomian setempat.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Adu Cantik dan Cepat Perahu Tradisional , diakses di http://www.centroone.com/news/2011/06/02r/adu-cantik-dan-cepat-perahu-tradisional/ pada 4 Mei 2013

Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2001
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2003
Mufid , Ahmad Syafi'i. Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa .Jakarta: Yayasan Obor. 2006
Raditya, Gilang Yanuar.  Perencanaan Sanitasi Masyarakat Daerah Pesisir (Studi Kasus: Kecamatan Kenjeran, Surabaya) , diakses di <http// ITS-Undergraduate-15476-3306100074-Paper.pdf> pada 2 Mei 2013 Pukul 8:18 AM
Syam, Dr. Nur . Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005
LAMPIRAN
Daftar Informan
1.                  Nama               : Muhammad Yasin
Umur               : 61 tahun
Pekerjaan         : Guru atau sesepuh desa
Alamat             : Desa Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak

2.                         Nama               : Durrotul Ummah
Umur               : 50 tahun
Pekerjaan         : Guru Ngaji dan Ibu rumah tangga (Cucu dari Kyai Bukhori)
Alamat            : Desa Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak

3.                         Nama               : Muhammad Brawijaya Hidayatuallah
                  Umur               : 21 tahun
Pekerjaan         : Mahasiswa
Alamat             : Desa Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak

4.                         Nama               : Umar Kadafi Amaruallah
Umur               : 24 tahun
Pekerjaan         : Mahasiswa
Alamat                        : Desa Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Bulak

5.                  Nama               : Ali
Umur               : 55 tahun
Pekerjaan         : nelayan dan ojek perahu pantai Ria Kenjeran
Alamat             : Sukolilo, Surabaya


[1] Dr. Nur Syam, Islam Pesisir (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm 5-6
[2] Gilang Yanuar Raditya, Perencanaan Sanitasi Masyarakat Daerah Pesisir (Studi Kasus: Kecamatan Kenjeran, Surabaya) , diakses di <http// ITS-Undergraduate-15476-3306100074-Paper.pdf> pada 2 Mei 2013 Pukul 8:18 AM
[3] Ahmad Syafi'i Mufid ,Tangklukan, Abangan, dan Tarekat; Kebangkitan Agama di Jawa (Jakarta: Yayasan Obor, 2006), hlm. 122
[4] Andrew Beatty, Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 45
[5] Wawancara dengan Pak Ali pada hari Kamis, 2 April 2013
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia
[7] Wawancara dengan Ibu Durrotul Ummah pada hari Rabu, 1 April 2013
[8] Wawancara dengan M. Yasin pada hari Rabu, 1 April 2013
[9] Ibid
[10] Wawancara dengan Umar Kadafi Amaruallah pada hari Rabu, 1 April 2013
[11] Wawancara dengan Ibu Durrotul Ummah pada hari Rabu, 1 April 2013
[12] Wawancara dengan bapak Ali pada hari Kamis, 2 April 2013
[13] Wawancara dengan Bu Durrotul Ummah pada hari Rabu, 1 April 2013
[14]Wawancara dengan Muhammad Brawijaya Hidayatuallah pada hari Rabu, 1 April 2013

[15] Anonim, Adu Cantik dan Cepat Perahu Tradisional , diakses di http://www.centroone.com/news/2011/06/02r/adu-cantik-dan-cepat-perahu-tradisional/ pada 4 Mei 2013

[16] Wawancara dengan Muhammad Brawijaya Hidayatuallah pada hari Rabu, 1 April 2013

 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS