Laila's Profile

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Ilmu Politik


BUDAYA POLITIK INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Pengantar Kebudayaan Politik
Konsep kebudayaan politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II,sebagai dampak perkembangan politik Amerika Serikat.Setelah PD II berakhir ,di Amerika saat itu tengah mengalami suatu revolusi  dalam ilmu politik yang disebut dengan Behavioral  Revolution.Terjadinya hal ini sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau mazhab posivitisme,dimana paham ini beranggapan bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial seperti halnya dengan ilmu-ilmu alam dalam menjelaskan gejala-gejala alam yang terjadi.Paham posivitisme merupakan pendapat yang sangat kuat di Amerika Serikat semenjak Charles E.Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago yang memualai pendekatan baru dalam ilmu politik.
Jika berbicara mengenai kebudayaan politik suatu masyarakat maka yang dipahami dalam hal ini adalah sistem politik.Teori tentang sistem politik tersebut,pada awalnya digagas oleh David Easton yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba.Budaya politik berorientasi psikologis terhadap objek sosial.Dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk yang bersifat cognitive,affective dan evaluative. 
Sistem yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap system politik dan atributnya.Dalam hal ini contohnya adalah tentang ibukota Negara,lambang Negara,kepala Negara,batas-batas Negara,mata uang yang dipakai,dan lain sebagainya atau biasa disebut dengna budaya politik parokial.Sedangkan orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik atu biasa disebut dengan budaya politik yang bersifat subjective .Sementara itu,orientasi yang bersifat evaluative berarti berhubungan dengan kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap system politik yang sedang berjalan dan bagaimana peranan individu didalamnya dan budaya politik macam ini disebut dengan budaya politik partisipatif atau demokratif.[1]
1.2   Makna dan Perwujudan Budaya Politik Indonesia
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga Negara dengan pemerintah institusi – institusi di luar pemerintah (non – formal) telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik – praktik perilaku politik dalam semua sistem politik.

Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri – ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.Adapun pengertian budaya politik menurut beberapa ahli adalah :

a.       Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan poltik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.

b.      Sidney verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol- simbol ekspresif, dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi di mana tindakan politik dilakukan.

c.       Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan denngan system politik dan isu-isu politik.

d.      Austin ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama, sebuah pola orientasi terhadap objek-objek politik.

e.       Gabriel A. Almond dan G. Bingham powell, Jr.
Budaya politik berisikan siakp, keyakinan, nilai, dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola -pola khusus yang terdapat pada bagian- bagian tertentu dari populasi.[2]

Proses pembentukan budaya politik dilakukan dengan sosialisasi politik.Yaitu,proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.Dalam hal ini nilai yang diwariskan tersebut dapat berupa sistem nilai,norma dan keyakinan yang diturunkan melalui berbagai media,seperti:keluarga,sanak-saudara,kelompok bermain dan sekolah.Kemudian,proses sosialisasi tersebut diteruskan melalui lingkungan kerja dan ditopang oleh media yang lain,seperti:koran,majalah,radio,televisi dan lain sebagainya.Hal-hal yang disebutkan diatas merupakan suatu agent (aktor) dari sosialisasi politik.
Agent pertama dari sosialisasi politik adalah keluarga.Keluarga sangat menentukan pola pembentukan nilai politik bagi seorang individu.Dalam keluarga tentulah ditanamkan bagaimana menghargai otoritas ayah,ibu serta orang yang lebih tua (saudara) serta nilai-nilai atau keyakinan politik dari kedua orang tua baik itu secara langsung ataupun tidak.Dalam hal ini anak dapat mendengarkan pembicaraan orang tua mengenai partai dan calon mana yang dipilih pada Pemilihan Umum tertentu,mengetahui peristiwa-peristiwa politik yang diminati kedua orang tuannya dan lain sebagainya.Sebagai contoh seorang anak yang orang tuanya aktif sebagai politisi Golkar,maka disetiap sudut rumah bahkan catnya pun diwarnai oleh atribut partai seperti lambang,warna kuningisasi,baju,kaos ala Golkar dan sebagainya.Dari keluargalah seorang anak akan ditanamkan nilai-nilai politik dan sikap serta orientasi politik akan terbentuk.
Agent kedua adalah teman bermain,di luar rumah anak akan bergaul dengan teman-teman disekitar rumahnya.Sosialisasi politik dalam hal ini lebih berperan pada awal penanaman sikap dan orientasi politik dari teman-teman sebayanya.Sedang agent ketiga adalah sekolah,disadari atau tidak ketika sang anak sekolah maka mereka belajar tentang nilai-nilai,norma dan atribut politik negaranya.Ketika masa pendidikan bertambah si anak kemudian akan dikenalkan dengan berbagai organisasi dan pelatihan kepemimpinan seperti OSIS,Ketua Kelas atau organisasi lain di sekolahnya.Maka anak sudah mulai belajar bagaimana mengatur dan mengurus orang lain,dan inilah politik tersebut dalam skala kecil.
Agent keempat adalah dunia kerja,dengan semakin bertambahnya usia dan pengalaman,maka semakin bertambahlah kesempatan individu untuk memperoleh sosialisasi politik yang lebih luas.Disekitarnya terdapat sumber informasi politik yang lebih luas dan komplit seperti radio,televisi,surat kabar dsb.Sang anak juga boleh terlibat dalam organisasi-organisasi kepemudaan,organisasi sosial,dan partai politik.Dalam fase ini sang anak akan berusaha menentukan jati dirinya tempat dimana ia menancapkan sikap dan orientasi politiknya.[3]
Dari berbagai uraian mengenai agent sosialisasi politik diatas dapat dipahami bahwa hal tersebut merupakan perwujudan dari budaya politik Indonesia secara umum yang terjadi sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia.Dalam sebuah system dimana negara memainkan peran yang sangat dominan,bahkan monopolistis dalam pembentukan norma dan nilai politik maka tentunya akan sinkron dengan kebijakan sang penguasa negara.Dalam fase-fase tersebut Negara terlebih penguasa pasti akan melebarkan suatu hegemoni dan proses legitimasi kepada rakyat dan para aparatur negara agar segala yang menjadi kewajiban Negara sebagai pengayom dan pelindung rakyat dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya.Melalui hal ini maka perwujudan budaya politik setiap penguasa akan berbeda satu sama lain.


BAB II
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
2.1 Tipe-Tipe Budaya Politik
Terdapat enam tipe budaya politik yang dikemukakan oleh ilmuwan ilmu politik Gabriel A.Almond dan Sidney Verba dalam bukunya yang berjudul “Budaya Politik:Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara” .Keenam tipe tersebut adalah:
1. Budaya Politik Parokial ( Parochial Political Culture )
Tipe budaya politik yang orientasi politik individu dan masyarakatnya masih sangat rendah,hanya terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit,individu tidak mengharapkan apapun dari sistem politik atau terdapat sistem politik tetapi sangat minim,tidak ada peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri,dan biasanya terdapat pada masyarakat tradisional.
2. Budaya Politik Subjek ( Subject Political Culture)
Masyarakat dan individunya telah mempunyai perhatian dan minat terhadap sistem politik,meski peran politik yang dilakukannya masih terbatas pada pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah dan menerima kebijakan tersebut dengan pasrah,tidak ada keinginan untuk menilai , menelaah atau bahkan mengkritisi.

3. Budaya Politik Partisipan ( Participant Political Culture)
Merupakan tipe budaya yang ideal,individu dan masyarakatnya telah mempunyai perhatian, kesadaran dan minat yang tinggi terhadap politik pemerintah.Individu dan masyarakatnya mampu memainkan peran politik baik dalam proses input (berupa pemberian dukungan atau tuntutan terhadap sistem politik) maupun dalam proses output (melaksanakan, menilai dan mengkritik terhadap kebijakan dan keputusan politik pemerintah).
4. Budaya Politik Subjek Parokial (Parochial Subject Political Culture)
Budaya politik yang sebagian besar telah menolak tuntutan masyarakat feodal atau kesukuan.Telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih komplek dengan stuktur pemerintah pusat yang bersifat khusus,cenderung menganut sistem pemerintahan sentralisasi.Hal ini nampak pada era kerajaan-kerajaan klasik Eropa yang mengalami peralihan dari sistem budaya parokial menuju pemerintahan sentralisasi.
5. Budaya Politik Subjek Partisipan (Participant Subject Political Culture)
Sebagian besar masyarakatnya telah mempunyai orientasi input yang bersifat khusus dan serangkaian pribadi sebagai seorang aktivis.Sementara sebagian kecil lainnya terus berorientasi kearah struktur pemerintahan yang otoriter dan secara relatif mempunyai serangkaian orientasi pribadi yang pasif.
6. Budaya Politik Parokial Partisipan (Participant Parochial Political Culture)
Berlaku di negara-negara berkembang yang yang masyarakatnya menganut budaya dalam stuktur politik parokial.Tetapi untuk keselarasan diperkenalkan norma-norma yang bersifat partisipan.[4]
2.2  Budaya Politik Indonesia
Budaya politik Indonesia secara umum berada pada tipe budaya politik parokial partisipan dimana di satu pihak berada pada tataran politik parokial dan dipihak lain budaya politik partisipan lebih mendominasi.Ada beberapa ahli yang menyebutkan tentang budaya politik masyarakat Indonesia seperti Hebert Feith,menyebutkan bahwa sistem politik di Indonesia di dominasi oleh budaya politik aristokrat Jawa dan wiraswasta Islam.Begitu pula oleh sejarawan C. Geertz yang berpendapat bahwa di Indonesia terdapat budaya politik priyayi, santri dan abangan.Diluar dari segala perspektif ahli mengenal budaya politik Indonesia ,maka kami akan mencoba mengklasifikasikan secara lebih detail mengenai budaya politik Indonesia.Adapun budaya politik Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Hierarki yang Tegar
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa,pulau dan latar belakang budaya yang multikultural.Namun disadari atau tidak budaya politik Indonesia berasal dari sebuah budaya politik yang dominan dan berasal dari kelompok etnis yang dominan pula ,yakni kelompok etnis Jawa.Etnis ini sangat mewarnai sikap ,perilaku,dan orientasi politik kalangan elite politik dan birokrasi di Indonesia.
Masyarakat Jawa,dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia,pada dasarnya bersifat hierarkis.Dalam hal ini stratifikasi sosial atau kelas sosial dilihat berdasarkan pada akses kekuasaan dan bukan pada atribut sosial yang bersifat materialistik.Ada sebuah pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan (priyayi) dan rakyat kebanyakan.Pemilahan tersebut tampak pada cara berekspresi melalui bahasa dan perilaku.Dalam adat Jawa kalangan rakyat harus berbicara yang halus kepada pemegang kekuasaan.Sebaliknya,kalangan pemegang kekuasaan dapat menggunakan bahasa yang kasar kepada rakyat kebanyakan.Adanya pemilahan tersebut kini lebih dikenal luas dengan istilah wong gedhe dan wong cilik.
Implikasi dari pola pemilahan seperti ini kemudian tampak pada kalangan birokrat yang seringkali menampakkan diri sebagai seorang pamong praja(guru/pendidik) yang siap melindungi rakyatnya.Dalam hal ini seorang pemegang kekuasaan haruslah nampak sebagai sosok yang pemurah,baik hati dan pelindung bagi rakyatnya.Akan tetapi,kalangan penguasa memiliki persepsi yang merendahkan rakyatnya,sehingga segala hal yang menjadi kebijakan pemerintah dianggap sebagai suai dihindartu wujud yang harus ditaati dan tak boleh dibantah apalagi dilanggar.Dalam persepsi ini terbentuk suatu wacana yang menyebutkan bahwa pemerintah yang paling tahu dan rakyat tidak tahu apa-apa dan manut apa kata pemerintah.[5]
Lebih jauh lagi tentang perbuatan menyakralkan jabatan birokrasi pemerintah yang hamper tidak bisa lagi dihindari oleh orang Indonesia.Segala urusan dari yang kecil sampai yang besar selalu membutuhkan legitimasi birokrasi pemerintah.Rakyat membutuhkan dan memperoleh rejeki maupun pelayanan selalu berhubungan dengan pejabat,pegawai dan pelaku-pelaku birokrasi pemerintah.Orang Indonesia memandang birokrasi pemerintah tak ubahnya seperti keris dan akik yang dikeramatkan oleh orang Jawa pada umumnya.Mereka lemah posisinya dihadapan birokrasi.Oleh karena itu agar tujuannya tercapai,sedang ia tidak punya kekuatan untuk melawan birokrasi,maka cara yang terbaik adalah menyerahkan diri.Dengan begitu tuntas sudahlah birokrasi Indonesia sebagai benda yang dikeramatkan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya.[6]
2.      Kecenderungan Patronage
Salah satu budaya politik yang paling menonjol di Indonesia adalah kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage,baik itu dalam kalangan penguasa maupun masyarakat Indonesia.James Scott menyebut pola hubungan seperti ini sebagai “patron-client”.Dimana penguasa berada pada posisi patron,rakyat berada pada posisi client dan aparatur pemerintah atau birokrasi sebagai brooker atau middlemen (perantara)
Kecenderungan patronage ini dapat ditemukan secara meluas dalam kalangan masyarakat,baik dalam lingkungan birokrasi maupun dalam kalangan masyarakat.Presiden bisa menjadi patron beberapa orang menteri.Menteri-menteri tersebut kemudian memposisikan diri sebagai brooker atau middleman terhadap sejumlah menteri yang lain.Dan menteri-menteri inilah yang kemudian menjadi client seseungguhnya.Kemudian para menteri tersebut juga menjadi brooker dan membentuk client sendiri dengan jabatan-jabatan lain dibawahnya hingga terus pada tingkat jabatan paling rendah.
Di kalangan pengusaha,pola hubungan seperti ini tampak pada kerjasama yang erat dengan pejabat pemerintah.Tak jarang mereka kemudian memposisikan diri sebagai client untuk memperoleh kemudahan dalam berusaha dan juga kemudahan dalam tender atas proyek pemerintah.Sebagai imbalannya para pejabat akan mendapat dukungan penuh dari si pengusaha dalam proses kampanye partai,dana untuk kepentingan pejabat dan lain-lain.Pola hubungan seperti ini kemudian popular disebut kolusi.
Pola hubungan seperti ini menurut Heather Sutherland telah terbentuk sejak bercokolnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia.Perilaku kalangan birokrat pada masa sekarang ini merupakan kelanjutan dari apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka pada masa kolonial.Sehingga bukan merupakan suatu keheranan bila praktek KKN di Indonesia semakin hari semakin bertambah dan merambah pada semua lini birokrasi di Indonesia baik lokal maupun nasional.[7


BAB III
BUDAYA POLITIK PRESIDEN INDONESIA
3.1 Budaya Politik Era Soekarno
Gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh Ir. Soekarno berorientasi pada moral dan etika ideologi yang mendasari negara atau partai, sehingga sangat konsisten dan sangat fanatik, cocok diterapkan pada era tersebut. Sifat kepemimpinan yang juga menonjol dan Ir. Soekarno adalah percaya diri yang kuat, penuh daya tarik, penuh inisiatif dan inovatif serta kaya akan ide dan gagasan baru. Sehingga pada puncak kepemimpinannya, pernah menjadi panutan dan sumber inspirasi pergerakan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta pergerakan melepas ketergantungan dari negara-negara Barat (Amerika dan Eropa).
Berbagai gejolak di tanah air terjadi selama kepemimpinan Presiden Soekarno, akibat dari adanya kebhinekaan dan pluralitas masyarakat Indonesia serta ketidakpuasan memunculkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa melalui pemberontakan-pemberontakan yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain DI/TII, Permesta dan yang belum terselesaikan sampai dengan saat ini adalah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Gerakan Papua Merdeka (GPM). Ir. Soekarno adalah pemimpin yang kharismatik, memiliki semangat pantang menyerah dan rela berkorban demi persatuan dan kesatuan serta kemerdekaan bangsanya. Namun berdasarkan perjalanan sejarah kepemimpinannya, ciri kepemimpinan yang demikian ternyata mengarah pada figur sentral dan kultus individu. Menjelang akhir kepemimpinannya terjadi tindakan politik yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, yaitu mengangkat Ketua MPR (S) juga.
Budaya politik yang terbangun saat pemerintahan beliau adalah budaya politik subjek parochial.Dimana masyarakat Indonesia saat itu masih beranggapan bahwa Bung Karno sebagai sosok penyelamat untuk kemerdekaan Indonesia.Hal ini jelas sekali terlihat karena Indonesia tengah berada dalam masa pergolakan dan situasi yang tidak menentu. Belum lagi pada saat itu karakter bangsa belum terbentuk,contoh yang konkret dari hal ini adalah Pemerintahan parlementer,demokrasi terpimpin,demokrasi liberal dan berubah lagi menjadi pemerintahan presidensial.Budaya politik subjek nampak sekali pada proses pengambilan keputusan yang berada langsung dibawah komando Bung Karno melalui pidato-pidato dan doktrin politiknya.Sehingga dapat dipastikan bahwa beliau sosok pemimpin yang otoriter namun tegas dan berwibawa.
3.2 Budaya Politik Era Soeharto
Orde baru merupakan masa dimana Indonesia mengalami pergantian kepemimpinan dari kepemimpinan Soekarno ke kepemimpinan Soeharto. Fase pertama kepemimpinan Soeharto ditunjukkan dengan kemampuannya untuk menghapuskan partai komunis dan juga pengaruh komunis di Indonesia. Kemudian gaya kepemimpinan di awal periode ini ditunjukkan dengan penguasaan politik militer dan kuatnya kontrol terhadap partai politik. Soeharto menjadikan militer sebagai alat kekuasaan dan stabilitas.Kebijakan politik Soeharto itu telah merontokkan sendi-sendi demokrasi. Meskipun niat Soeharto sebenarnya tidak lain bermaksud untuk menata bangsa yang besar ini dengan stabilitas sebagai prasyarat pembangunannya.
Gaya politik yang dahulunya didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Dimana pada era ini secara material, penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern.
Hal ini menjadikan proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elit politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elit terbatas.
Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini.Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern maupun ekstern adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.
Pada masa orde baru kecenderungan neo-patrimonialistik sangat jelas terlihat bagaimana presiden mendominasi kepemilikan negara menjadi milik pribadi dan milik kroni-kroninya.Dalam rezim ini, urusan pribadi dan publik relative tidak terpisah batas-batasnya, aturan hukum lemah, kelompok-kelompok paramiliter digunakan terutama untuk menekan lawan politiknya atau penentangnya.Kontrol rezim terhadap masyarakat tidak dilakukan melalui tekanan secara terang-terangan tetapi melalui integrasi elit-elit ke dalam Orde Baru melalui imbalan material dan pertumbuhan ekonomi bagi sebagian besar kelompok penduduk.
Di bidang politik, dominasi Presiden Soeharto telah membuat presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewengan kekuasaan .Mungkin hal inilah yang menjadi salah satu penyebab budaya neo-patrimonialistik sangat kental dalam Orde Baru.
Dari penjelasan diatas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek.Dimana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoriterianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elit birokrasi dan militer.[8]

3.3 Budaya Politik Era Habibie-Gus Dur –Megawati
·         B.J.Habibie
Sebenarnya gaya kepemimpinan Presiden Habibie adalah gaya kepemimpinan Dedikatif-Fasilitatif, merupakan sendi dan Kepemimpinan Demokratik. Pada masa pemerintahan B.J Habibie ini, kebebasan pers dibuka lebar-lebar sehingga melahirkan demokratisasi yang lebih besar. Pada saat itu pula peraturan-peraturan perundang-undangan banyak dibuat. Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya Habiebi sangat terbuka dalam berbicara tetapi tidak pandai dalam mendengar, akrab dalam bergaul, tetapi tidak jarang eksplosif. Sangat detailis, suka uji coba tapi tetapi kurang tekun dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Dalam penyelengaraan Negara Habibie pada dasarnya seorang liberal karena kehidupan dan pendidikan yang lama di dunia barat.
Budaya politik saat itu lebih terkesan partisipatif,hal ini karena saat pemerintahan seumur jagung beliau sedang bergejolak tentang tuntutan akan reformasi dan kebebasan yang meledak-ledak di masyarakat.Sehingga budaya politik saat itu partisipatif atau demokrasi yang keblabasan.
·         KH.Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Gaya kepemimpinan Gus Dur diwarnai oleh gaya dan tipe kharismatik, demoktaris, dan pada situasi tertentu bergaya otokratis.Tipe ataupun gaya kepemlmpinan Gus Dur tidak monolitik. Tetapi, bervariasi sangat situasional. Suatu ketika beliau cenderung demokratis, pada saat yang lain beliau bisa ccnderung otokratik bahkan bisa sangat kharismatik.Kelebihan dari gaya kepemimpinan Gus Dur adalah konsistensinya pada perjuangan membela hak-hak kaum minoritas dan demokrasi dan penghargaannya yang tinggi terhadap perbedaan Sikap kontroverialnya justru bisa dijadikan pelajaran berharga dalam mendewasakan anak bangsa untuk tidak gampang kaget dengan sesuatu yang berbeda. Kekurangan gaya kepemimpinan ala Gus Dur bisa menimbulkan krisis kewibawaan seorang pemimpin karena ada kesan otoriter dan pernimpin tidak bekerja dengan standar- standar norma yang .jelas.
Budaya politik yang terbangun saat itu adalah budaya politik parochial partisipatif.Hal ini didasarkan pada kepemimpinan Gus Dur yang kharismatik,humanis dan humoris,yang cenderung membawa kita pada budaya parochial yang kental di Indonesia.Mindset yang terbangun dalam masyarakat adalah Gus Dur sosok kyai yang bersifat liberal nan demokratis dan kharismatik.Sedang budaya partsipatif tampak pada kebebasan berpendapat,berbicara dan melakukan hal yang sesuai kehendak hati rakyat namun sesuai kaidah demokrasi yang telah berlaku.Saking partsipatifnya hingga Istana Negara yang terbilang sakral disulap menjadi Istana Rakyat oleh Gus Dur saat itu.
·         Megawati Soekarno Putri
Berpenampilan tenang dan tampak kurang acuh dalam menghadapi persoalan. Tetapi dalam hal-hal tertentu megawati memiliki determinasi dalam kepemimpinannya, misalnya mengenai persoalan di BPPN, kenaikan harga BBM dan pemberlakuan darurat militer di Aceh Nanggroe Darussalam.Gaya kepemimpinan megawati yang anti kekerasan itu tepat sekali untuk menghadapi situasi bangsa yang sednag memanas.
Megawati lebih menonjolkan kepemimpinan dalam budaya ketimuran. Ia cukup lama dalam menimbang-nimbang sesuatu keputusan yang akan diambilnya. Tetapi begitu keputusan itu diambil, tidak akan berubah lagi. Gaya kepemimpinan seperti bukanlah suatu ke1emahan. Seperti dikatakan oleh Frans Seda: "Dia punya intuisi tajam. Sering kita berpikir, secara logika, menganalisa fakta-fakta, menyodorkan bukti-bukti, tapi tetap saja belum pas. Di saat itulah Mega bertindak berdasarkan intuisinya, yang oleh orang-orang lain tidak terpikirkan sebelumnya."
Cukup demokratis, tapi pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya.
Budaya politik saat itu adalah partisipatif,karena rakyat bebas untuk berpendapat sesuai kehendaknya namun tetap bertanggung jawab.Yang disayangkan adalah lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan dan asset-aset Negara lainnya yang dijual oleh beliau kepada investor asing dan Malaysia.

3.4 Budaya Politik Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Era SBY selama dua periode ini dinilai kemajuan ekonomi dan stabilitas negara terlihat membaik. Sayang tidak mendapat dukungan yang kuat di Parlemen. Membuat beliau tidak leluasa mengambil keputusan karena harus mempertimbangkan dukungannya di parlemen. Apalagi untuk mengangkat kasus korupsi dari orang dengan back ground parpol besar, beliau keliahatan kesulitan.Budaya politik yang terbangun saat ini adalah adanya lobi politik yang terlihat dalam wajah politik Indonesia saat ini.Sehingga pemilihan menteri yang dilakukan untuk mengisi birokrasinya banyak yang tidak sesuai dengan kecakapan,keterampilan dan bidang yang ditekuni sebelumnya.Sehingga menimbulkan pro-kontra yang berkepanjangan,dan tuntutan untuk resufle kabinetnya pun sempat menjadi perbincangan hangat di media massa.
Pembawaan SBY, karena dibesarkan dalam lingkungan tentara dan ia juga berlatar belakang tentara karir, tampak agak formal. Kaum ibu tertarik kepada SBY karena ia santun dalam setiap penampilan dan apik pula berbusana. Penampilan semacam ini meningkatkan citra SBY di mata masyarakat.
Anggapan sementara kalangan yang menyebut SBY sebagai figur peragu, lambat, dan tidak tegas. Sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.
Permasalahan politik yang sedang dialami oleh rakyat Indonesia saat ini adalah banyaknya korupsi,suap,nepotisme dan segala hal yang berhubungan dengan money politic yang menjamur serta menghiasi birokrasi Indonesia dari tingkat daerah hingga pusat.Meski lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah bertugas dengan sebaik-baiknya namun kultur birokrasi yang korup seakan tanpa batas bahkan terus bertambah.
Budaya politik yang terbangun saat ini adalah budaya politik Parokial- partisipatif.Dimana rakyat dapat menyampaikan pendapatnya sebebas mungkin tanpa batas   sehingga terkadang mengabaikan nilai-nilai humanis dan kesopanan.Budaya parochial agaknya terus melekat pada benak budaya politik di Indonesia yang kental dengan sosio-kultural yang kuat.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
·         Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri – ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.

·         Proses pembentukan budaya politik dilakukan dengan sosialisasi politik. Dalam hal ini nilai yang diwariskan tersebut dapat berupa sistem nilai,norma dan keyakinan yang diturunkan melalui berbagai media,seperti:keluarga,sanak-saudara,kelompok bermain dan sekolah.Kemudian,proses sosialisasi tersebut diteruskan melalui lingkungan kerja dan ditopang oleh media yang lain,seperti:koran,majalah,radio,televisi dan lain sebagainya.

·         Budaya politik Indonesia secara umum berada pada tipe budaya politik parokial partisipan dimana di satu pihak berada pada tataran politik parokial dan dipihak lain budaya politik partisipan lebih mendominasi.



DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo,Miriam.Dasar-Dasar Ilmu Politik.Jakarta:Gramedia.2008.
Gabriel A.Almond dan Sidney Verba.Budaya Politik:Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara.Jakarta:PT.Bina Aksara.1984.
Gaffar,Afan.Politik Indonesia :Transisi Menuju Demokrasi.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2004.
Thoha,Prof.Dr.Miftah.Birokrasi Politik di Indonesia.Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.2007.
http:// nitehawkripper.blogspot.com/2011/06/budaya-politik-di-indonesia.html.Diakses tanggal  10 Juni 2012 Pukul : 21.45 WIB


[1] Gabriel A.Almond dan Sidney Verba,Budaya Politik:Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (Jakarta:PT.Bina Aksara.1984),hlm.13-16.

[2] http:// nitehawkripper.blogspot.com/2011/06/budaya-politik-di-indonesia.html
[3] Afan Gaffar,Politik Indonesia :Transisi Menuju Demokrasi (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004),hlm.102-106.

[4] Gabriel A.Almond dan Sidney Verba,op.cit.,hlm.20-32.
[5] Afan Gaffar, op.cit,hlm.106-109.
[6] Prof.Dr.Miftah Thoha,Birokrasi Politik di Indonesia  (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2007),hlm.6.
[7] Afan Gaffar, op.cit.,hlm.109-114.
[8] Miriam Budiardjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta:Gramedia,2008),hlm.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar