Laila's Profile

Diberdayakan oleh Blogger.
RSS
Container Icon

Penulisan Kreatif


GELIAT  PENANTANG JALAN RAYA BRATANG – BULAK BANTENG

                Suatu siang ditengah kebisingan kota pahlawan yang setiap jam bahkan tak dijumpai jalan raya yang sepi oleh hilir mudik kendaraan.Suara deru mobil dan motor menggebu menambah semarak kesemrawutan tatanan kota.Belum lagi jika becak-becak tengah berpanas-panasan menunggu setiap penumpang yang membutuhkan jasanya.Pedagang kaki lima dan pedagang asongan pun tak ketinggalan mondar-mandir bahkan setia menunggui dagangannya yang bila dihitung tak seberapa keuntungan diperolehnya.Seorang wanita remaja bercadar  masker biru bermotif batik tengah melintasi perempatan menuju Terminal Bratang tempat berbagai macam angkutan kota ke berbagai jurusan menunggu para penumpang yang membutuhkan jasanya.Langkah yang gontai dari ayunan kakinya seakan memacu mengejar waktu jam pergantian kuliah siang itu,dengan tas ransel motif batik yang bagian depan kaitannya telah copot dan sengaja disemat sebuah jarum.Ditambah pula dengan beban bawaan buku,handout mata kuliah,alat tulis,binder dan laptop super berat sebagai barang wajibnya.Semangat tempurnya yang membara membuat peluh keringat sebesar biji jagung tak dirasa bahkan tak jarang menyusup kedalam mulut yang tanpa sengaja ditelannya.Begitulah aktifitas ritmik seorang remaja masa kuliah yang berusaha melawan egonya untuk bersenang sebelum rintangan,hambatan dan kesedihan sirna dari kehidupannya.
            Seorang wanita bercadar biru motif batik itu adalah saya.Sebelum saya melangkah ke dalam terminal untuk menumpang sebuah angkutan kota,saya melangkahkan kaki untuk membeli sebungkus es sari kedelai yang hampir tiap hari menjadi santapan wajib saya sebelum masuk ke dalam angkutan kota bertuliskan huruf kapital WB pada kaca bagian depan mobil jama’ah itu.Saat kaki ini tengah masuk kedalam terminal,maka pemandangan yang terlihat pertama kali adalah pasukan tukang becak baik itu manual atau motor yang berjejer rapi di sekeliling mulut terminal.Selain itu pedagang asongan dan pedagang kaki lima dengan berbagai dagangannya yang berupa soto ayam Lamongan,STMJ,rujak buah,warung kopi tenda dan tak lupa si mbah penjual sari kedelai yang baru saja kubeli tadi juga ikut meramaikan suasana terminal yang terbilang sumpek siang itu.Ketika tiba di pelataran terminal itu lalu pemandangan selanjutnya adalah berjejer angkutan kota yang menuju berbagai wilayah di kota Surabaya.
            Tanpa sengaja saya tampak tertegun dan mengawasi segala aktifitas dan kondisi serta isi terminal siang itu.Dari pintu masuk terminal kini tampaklah dari kiri berbaris memanjang kebelakang sebuah  angkutan warna putih tulang bertuliskan “N” yang beroprasi di daerah Petekan-JMP-Bratang sebagai tujuannya.Lalu disebelah kanannya Angkutan bertuliskan huruf “S” warna biru tua yang pada bagian samping badan mobil bertuliskan Joyoboyo-Bratang-Kenjeran sebagai wilayah tujuannya.Disebelah Angkot “S” nampak sebuah angkutan yang terasa tak asing lagi bagiku karena angkot itu merupakan kendaraan wajibku bila pergi ke kampus.Angkutan yang berwarna coklat tua tersebut bertuliskan “WB” dibagian depan kaca dan menuju jurusan Wonosari Lor-Karang Menjangan-Bratang .Disebelahnya lagi berjejer angkutan warna Orange tua bertuliskan jurusan JMP-Pasar Turi-Kupang-Bratang yang pada badan depan mobil bertuliskan huruf “Q” yang senantiasa menjadi alternative tumpanganku bila sedang pulang kampung ke tanah kelahiranku.Disebelah kanan angkot “Q”,terdapat angkot bertuliskan huruf “BM” dan menuju ke wilayah Bratang-Kutisari-Menanggal dengan warna kuning muda sebagai warna cat mobilnya.Dan yang paling pojok adalah angkot bertuliskan huruf “RBK” yang menuju ke wilayah Rungkut-Bratang-Kenjeran berwarna Biru Muda yang kelihatannya merupakan angkutan yang bisa dibilang paling sedikit dari yang lainnya.Bila dijumlah angkutan kota yang beroprasi di Terminal Bratang berjumlah enam angkutan dan porsi paling banyak dipegang oleh angkutan kota “S” dan “Q”,hal ini karena jumlah konsumen kendaraan ini memang lebih banyak dibanding yang lainnya.
            Suasana terminal yang dipenuhi hiruk pikuk penumpang dan sopir makin terasa ketika saat itu sebuah bis kota jurusan Terminal Purabaya Bungurasih baru saja memasuki pelataran terminal dan menurunkan seluruh penumpangnya.Ketika bis berhenti,para penumpang segera berhamburan keluar dan di sekeliling bis tersebut para tukang becak,ojek dan para sopir angkot dari berbagai jurusan dengan tanpa dikomando mempromosikan angkutan mereka.Tampak disitu seorang sopir salah satu angkutan meneriakkan jasanya dengan logat Madura yang terasa medok ditelinga saya “Ayo…WB..WB..Karang Menjangan,Wonosari,Ampel,Klampis,Bulak Banteng..Langsung berangkat” .Tak berapa lama angkot WB telah terisi penumpang dan hampir penuh,segera kulangkahkan kaki untuk masuk kedalam angkutan tepat berada disamping pak sopir yang segera membukakan pintu angkot karena memang agak sulit untuk dibuka.
Ketika sampai didalam angkot dan duduk disebelah pak sopir,beliau rupanya tengah tersenyum menatap saya yang terlihat kerepotan membawa perlengkapan kuliah dan tas yang super besar pula.Segera saja kesempatan yang langka itu saya pergunakan untuk banyak mempelajari tentang kehidupan seorang sopir angkutan umum seperti WB yang bagi sebagian penumpang mengatakan bahwa angkot ini merupakan angkot  terjelek di Surabaya.Bahkan,pernah suatu ketika saya mendengar celotehan penumpang wanita kira-kira berusia lima puluhan tahun yang berujar, “WB iku bemo paling elek di Suroboyo,wes kusem kabeh nggak enek bel e mesisan”.Perkataan tersebut dalam bahasa Indonesia berarti, “angkot WB itu bemo paling jelek di Surabaya,sudah kusam kondisinya tidak ada belnya pula”
            Sebenarnya saya tidak sebegitu sependapat dengan pernyataan beberapa penumpang yang mengatakan bahwa angkot WB terjelek di Surabaya.Hal ini saya buktikan dengan beberapa minggu terakhir ini setiap saya menaiki angkot ini untuk menuju kampus tidak saya jumpai satu pun angkot yang kondisinya rusak dan berlubang.Ketika saya tanyakan kepada salah satu sopir ternyata dalam seminggu ini terdapat beberapa sopir baru yang selama seminggu ini telah bekerja sebagai sopir angkot.Lebih lanjut lagi ternyata angkot yang selama ini dipakai oleh para sopir sebagian besar menyewa dari seorang juragan angkot yang ketika saya tanyakan siapa nama dan pekerjaan juragan itu,mereka enggan menjawabnya.Biasanya disetiap angkot yang disewa oleh seorang sopir itu dipegang oleh seorang sopir tetap dan terkadang bila si sopir tetap sedang ada halangan akan diganti oleh seorang sopir pengganti atau dalam bahasa jawanya disebut sebagai sopir serep.Namun,ada sebagian sopir yang memang telah mempunyai angkot sendiri sehingga tidak ada pungutan untuk setoran kepada juragan angkot yang bersangkutan.Perbandingan antara sopir angkot yang menyewa dan sopir angkot yang telah memiliki angkot sendiri bisa dibilang sebesar 10 : 1.
            Angkutan kota yang dikemudikan pak sopir disebelah saya pelan-pelan telah meninggalkan terminal.Namun,sebelum beliau menyalakan mobil,tiba-tiba dari arah samping muncullah seseorang laki-laki tambun dan berkumis tebal mendekati angkutan kami dan berbicara dengan bahasa Madura yang sulit saya mengerti.Kemudian,pak sopir menyodorkan uang receh lima ratusan kepada lelaki berkumis itu.Belakangan saya mengetahui bahwa lelaki berkumis itu merupakan seorang makelar yang bertugas mencari penumpang untuk beberapa angkot yang mengantri setiap lima menit itu.Setelah pak sopir menyalakan mobil dan pemanasan mesin sebentar kira-kira lima menit,angkot yang saya tumpangi pelan-pelan meninggalkan terminal dan siap untuk menaklukkan jalan raya yang bila siang-siang begini tentulah kemacetan yang menghambatnya.Angkutan kini berjalan dengan pelan ,ketika sampai pada sebuah pom bensin yang berada sekitar 45 meter di sebelah kanan terminal pak sopir membelokkan laju kendaraan menuju pom bensin tersebut untuk mengisi bahan bakar angkotnya.Pak sopir tersebut turun sambil menginstruksikan kepada petugas pom bensin bahwa ia membeli bensin sebesar 20.000 rupiah.Setelah selesai sesi pengisian bahan bakar tersebut kembali pak sopir melanjutkan perjalanan.
            Dalam perjalanan selanjutnya saya banyak berbincang dengan pak sopir mengenai bagaimana kehidupan para sopir angkutan umum di Surabaya khususnya angkot WB yang saya tumpangi tersebut.Berdasarkan penjelasan dari Pak Soedarmo (42 tahun),sopir angkutan yang saya tumpangi rata-rata perjalanan pulang pergi dari Bratang-Bulak Banteng dalam sehari bisa sampai 4-5 kali.Dalam perjalanan pulang-pergi setiap angkot selama 4-5 kali tersebut penumpang yang naik tidak selalu penuh.Terkadang dalam sekali jalan hanya terdapat 6-7 penumpang sehingga bila dijumlahkan maka antara pendapatan dan jumlah setoran serta hal-hal perlengkapan lain seperti BBM,uang makan,iuran dan pungutan-pungutan lain bisa saja tidak terbayar.Jika hal ini terjadi,maka terdapat konsekuensi yang lumayan memberatkan sopir yaitu mereka harus merelakan untuk menambah uang setoran pada hari selanjutnya.Bila pada hari selanjutnya nasib mereka tetap atau lebih mengenaskan dari hari ini maka jumlah setoran pun akan berlaku kelipatan.Bila nasib sedang baik dan jumlah penumpang di setiap perjalanan membludak maka hal itu juga berpengaruh pada pendapatan mereka.
Menurut sopir angkot WB yang lain dan enggan disebutkan namanya  bahwa tingkat kesejahteraan sopir angkot bila dibandingkan antara pemerintahan Presiden Soeharto dan era pasca Soeharto hingga sekarang ini sangat jauh.Bila pada era Soeharto ,pendapatan bersih mereka bisa mencapai 100 – 300 ribu per-hari.Hal ini karena pada zaman itu urbanisasi dari desa ke kota berkembang pesat bahkan terkadang tak terkendali,selain itu jumlah kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil dibatasi dengan adanya jaminan besar yang harus dibayar setiap pengurusan perijinan berkendara.Sedangkan pada masa sekarang jumlah volume kendaraan di jalan raya tak pernah dibatasi,bahkan iklan mobil dan motor dari berbagai merek menjamur dalam masyarakat,pengurusan surat perijinan berkendara yang relative mudah dan tentu saja persaingan dan penambahan sopir angkot yang semakin banyak pun tak kalah berpengaruh pada tingkat kesejahteraan sopir yang termaginalkan oleh zaman.
Kendaraan terus melaju lumayan kencang menyusuri jalanan kota Surabaya yang agak lengang siang itu.Tiba-tiba saja dari arah samping muncul angkot lain bernama WB yang berusaha mendahului kendaraan kami.Keadaan pun semakin kacau tatkala pak sopir dari  angkot yang saya tumpangi berteriak-teriak dalam bahasa Madura yang tak saya mengerti.Sepertinya kata yang beliau ungkapkan merupakan suatu umpatan sekaligus ajakan untuk berduel saling mendahului.Hal yang terjadi kemudian kendaraan kami melaju kencang meliuk-liuk bagai kesetanan membelah jalan raya di wilayah pertokoan Klampis.Ketika jarak antara kendaraan kami dengan angkot dari sopir lain dirasa cukup jauh,terlihat pak sopir disebelah saya bernafas lega.Keadaan seperti ini membuat nyali saya untuk mempelajari dunia sopir semakin besar.Hal ini semakin menarik tatkala pak sopir kemudian tersenyum kearah saya yang mungkin saat itu raut wajah saya terlihat mengerut tanda berbagai pertanyaan akan senantiasa terlontar.Kemudian,beliau pun berkata dalam bahasa Indonesia sambil terus melajukan kendaraannya, “Ya begini mbak,kalau di jalanan antar sopir satu dengan yang lain itu ibarat minyak dan air.Tapi kalau sudah turun dari jalanan kami seperti saudara kandung”.Ungkapan itu semakin mengerutkan kening saya,kemudian beliau pun menjelaskan maksud dari ungkapan itu yang lebih kurang bermakna kalau di jalanan antar sopir satu dan lain itu terdapat semacam persaingan dalam hal perolehan penumpang.Tetapi bila sudah berhenti mereka seperti keluarga yang umumnya saling membantu bila terdapat kesusahan.
Angkot yang dikemudikan pak sopir terus melaju memasuki jalanan dalam kampung daerah Jln.Srikana.Hal itu merupakan pertanda kalau sebentar lagi saya akan turun dari angkot itu karena telah sampai di jalan alternatif menuju kampus FIB .Ketika sampai pada pertigaan menuju Gedung Diploma Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga,saya kemudian berujar “kiri pak”,yang berarti saya meminta berhenti.Sebelum turun ,saya menyodorkan selembar lima ribuan kepada beliau dan beliau pun kemudian merogoh sakunya dan menyodorkan selembar dua ribuan sebagai pengembaliannya.Dalam hal ini meskipun saya seorang mahasiswa maka ongkos angkot saya disamakan dengan penumpang dewasa lainnya.Perlakuan menjadi berbeda tatkala penumpang berasal dari pelajar yang hanya membayar dua ribu rupiah saja.Setelah angkot berlalu,saya melanjutkan perjalanan memasuki area Gedung Diploma Fakultas Ekonomi dengan segudang pertanyaan yang terus menerus berputar di kepala saya.
*******
            Di hari berikutnya,saya kembali menumpang angkot WB menuju ke kampus.Kali ini saya tidak lagi duduk disamping pak sopir tetapi di jok bagian belakang sebelah kanan tepat dibelakang pak sopir yang menurut pengamatan saya kira-kira berusia tiga puluhan tahun.Di samping pak sopir terdapat seorang anak laki-laki yang terkantuk-kantuk dengan menggenggam sebuah pisang raja yang belakangan menurut penuturan dari pak sopir yang bernama Mohammad Sobari itu ,anak lelaki tersebut merupakan anaknya yang berusia empat tahun.Anaknya terpaksa ia bawa karena istrinya kini tengah mengasuh bayi berumur tujuh bulan dan tidak sanggup bila mengasuh keduanya secara bersamaan.
            Seiring dengan melajunya kendaraan,satu per satu penumpang masuk ke dalam angkot bersiap menuju tempat tujuan masing-masing.Jika saya amati selama menjadi konsumen tetap angkot ini selama Semester pertama kuliah ,penumpang angkot ini sebagian besar merupakan para wanita dari berbagai usia dan para laki-laki manula serta sebagian laki-laki muda yang menjadikan angkot sebagai sarana transportasi ke tempat kerja.Para wanita yang menumpang rata-rata merupakan seorang pekerja di sekitar Ruko Klampis,ibu-ibu yang menuju ke Rumah Sakit Dr.Soetomo dan Rumah Sakit Haji Surabaya dan sebagian pelajar SMA,SMP, mahasiswa Unair,Ubaya dan STIESIA.Sedang para lelaki biasanya merupakan pekerja urban dari luar kota yang oper angkot dari bis kota jurusan Bungurasih-Bratang,para lelaki manula yang menuju ke Rumah Sakit Dr.Soetomo dan Rumah Sakit Haji Surabaya dan sebagian kecil pelajar dan mahasiswa yang menjadikan angkot sebagai sarana transportasi wajib mereka.Bila saya jumlahkan maka muatan maksimal angkot ini berjumlah 12 orang,dengan perincian dua penumpang di sebelah sopir,tiga penumpang di jok sebelah kiri,lima orang di samping kanan jok dan dua orang di dekat pintu masuk angkot.Bahkan,jika penumpang sedang membludak maka muatan angkot bisa sampai 15-16 orang.Imbas dari pembludakan ini tentu saja para penumpang harus menahan napas dan bersiap menyeka keringat yang siap menetes kapan saja.
            Hal menarik yang saya dapatkan apabila berada dalam angkot adalah adanya perbincangan ringan antar penumpang seputar kehidupan mereka atau bisa juga perbincangan seputar keduniawiaan,ekonomi,politik,kebijakan pemerintah bahkan hal-hal yang menurut saya merupakan hal yang menyangkut privasi seseorang akan tersampaikan melalui perbincangan ringan didalamnya.Meskipun,saya enggan berkomentar jika mereka sudah berbincang karena cenderung mendengarkan maka secara tidak langsung saya dapat dengan mudah mengambil hikmah dari setiap aktivitas yang terjadi.Bahkan,saya berkali-kali mendapatkan berbagai informasi penting mengenai fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat luas tanpa harus bersusah menonton tv atau mengunjungi tempat yang menjadi objek perbincangan mereka.Pernah suatu ketika saya tanpa sengaja mendengar seorang ibu-ibu berusia sekitar empat puluhan tahun bercerita tentang suka duka sebagai masyarakat menengah-kebawah dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang meski telah menunjukkan kartu Jamkesmas tetap dipungut biaya tambahan.Selain itu salah satu penumpang yang baru saja mengurus akte kelahiran anaknya secara gratis di kantor Samsat Polres Surabaya mengeluh atas antrian panjang pengambilan nomer urut dan kinerja petugas yang menurutnya kurang ramah dalam melayani tamu.Saya menilai setiap perbincangan dan interaksi yang terjadi dalam angkot terlihat mengalir begitu saja tanpa ada semacam penyekat atau kepura-puraan didalamnya.
            Ketika angkot yang saya tumpangi tepat berada di depan Perpustakaan Daerah Jawa Timur daerah Menur Pumpungan.Tiba-tiba angkot berhenti sejenak,pak sopir merogoh sakunya dan memberikan dua lembar uang dua ribuan kepada seseorang yang saya lihat telah standby menunggu setiap angkot yang melewati jalan itu berhenti tepat didepannya.Ketika saya tanyakan kepada pak Sobari (nama sopir),perihal apa fungsi dari pungutan itu beliau dengan senang hati menjawab dengan logat Maduranya, “ Itu uang iuran yang harus dibayarkan setiap angkot perharinya mbak.Perinciannya seribu untuk upah penariknya,dua ribu untuk kas,dan seribunya lagi dikembalikan kepada para sopir lagi setiap bulannya”.Saya pun bertanya kembali tentang kegunaan dari pungutan itu secara detailnya,kembali beliau menjawab dengan senang hati dan senyum dikulum tersembul dibalik kumis tipisnya, “ Menurut kesepakatan dari kelompok para sopir iuran itu untuk pembuatan SIM ,jaga-jaga kalau ditilang polisi,persediaan tambahan hari raya Idul Fitri dan selebihnya untuk jaga-jaga kalau dijalan angkot tiba-tiba mogok ditengah jalan dan perlu perbaikan mesin di bengkel.Kan mbak tau sendiri kalau WB itu rata-rata angkot tua yang kadang rewel diajak cari duwit”.Saya pun menganggukkan kepala mendengar penuturan pak Sobari tersebut.
            Setibanya di kampus,saya mencoba menghitung dari berbagai pungutan yang harus dibayar oleh seorang sopir selama dalam perjalanan pulang-pergi dari Bratang-Bulak Banteng.Jika jumlah angkot WB yang beroprasi setiap harinya berjumlah 20 buah,maka pungutan yang dibayarkan setiap harinya adalah:
·         Makelar       500,00 × 20 = 10.000,jika 4 kali perjalanan pulang- pergi berarti : 10.000 ×4 = 40.000 setiap harinya.
·         Penarik        1.000 × 20 = 20.000,jika 4 kali perjalanan pulang-pergi berarti : 20.000 × 2 = 40.000 setiap harinya.
·         Kas               2.000 × 20 = 40.000,jika 4 kali perjalanan pulang-pergi berarti :40.000 ×2 = 80.000 setiap harinya.
·         Dikembalikan ke sopir      1.000 × 20 = 20.000,jika 4 kali perjalanan pulang-pergi berarti : 20.000 × 2 = 40.000 setiap harinya.
·         Membayar di Loket masuk menuju terminal dijaga petugas dari Dinas Perhubungan       500 × 70 (setiap angkot yang masuk,bila perhari ada 70 angkot) =35.000 ; Jika per-angkot ada 4 kali perjalanan pulang-pergi berarti : 35.000 × 2 = 70.000 setiap harinya.
Bila dihitung perharinya saja jumlah pungutan yang harus dibayar keseluruhan angkot mencapai 200.000 tiap hari.Maka dalam hal ini jumlah perputaran uang dan transaksi yang terjadi menurut penilaian saya sangatlah rumit.Keluar dari segala konteks tentang kerumitan yang melingkupi dalam kehidupan sehari-hari kaum sopir WB di Surabaya,hal yang menjadi garis besar yang dapat saya pelajari dari pengamatan singkat ini menunjukkan bahwa dibalik aktifitas keseharian masyarakat Surabaya yang seakan tak pernah berhenti pada perputaran jam ini, terdapat kaum marginal seperti para sopir yang bersiap menyambung hidup demi menafkahi keluarga mereka meski resiko dan pengorbanan mereka terkadang memunculkan berbagai perspektif penilaian yang heterogen.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

Anonim mengatakan...

great, good job

Posting Komentar