GELIAT PENANTANG JALAN RAYA BRATANG – BULAK BANTENG
Suatu siang ditengah
kebisingan kota pahlawan yang setiap jam bahkan tak dijumpai jalan raya yang
sepi oleh hilir mudik kendaraan.Suara deru mobil dan motor menggebu menambah
semarak kesemrawutan tatanan kota.Belum lagi jika becak-becak tengah
berpanas-panasan menunggu setiap penumpang yang membutuhkan jasanya.Pedagang
kaki lima dan pedagang asongan pun tak ketinggalan mondar-mandir bahkan setia
menunggui dagangannya yang bila dihitung tak seberapa keuntungan
diperolehnya.Seorang wanita remaja bercadar
masker biru bermotif batik tengah melintasi perempatan menuju Terminal
Bratang tempat berbagai macam angkutan kota ke berbagai jurusan menunggu para
penumpang yang membutuhkan jasanya.Langkah yang gontai dari ayunan kakinya
seakan memacu mengejar waktu jam pergantian kuliah siang itu,dengan tas ransel
motif batik yang bagian depan kaitannya telah copot dan sengaja disemat sebuah
jarum.Ditambah pula dengan beban bawaan buku,handout mata kuliah,alat
tulis,binder dan laptop super berat sebagai barang wajibnya.Semangat tempurnya
yang membara membuat peluh keringat sebesar biji jagung tak dirasa bahkan tak
jarang menyusup kedalam mulut yang tanpa sengaja ditelannya.Begitulah aktifitas
ritmik seorang remaja masa kuliah yang berusaha melawan egonya untuk bersenang
sebelum rintangan,hambatan dan kesedihan sirna dari kehidupannya.
Seorang wanita bercadar biru motif
batik itu adalah saya.Sebelum saya melangkah ke dalam terminal untuk menumpang
sebuah angkutan kota,saya melangkahkan kaki untuk membeli sebungkus es sari
kedelai yang hampir tiap hari menjadi santapan wajib saya sebelum masuk ke
dalam angkutan kota bertuliskan huruf kapital WB pada kaca bagian depan mobil
jama’ah itu.Saat kaki ini tengah masuk kedalam terminal,maka pemandangan yang
terlihat pertama kali adalah pasukan tukang becak baik itu manual atau motor
yang berjejer rapi di sekeliling mulut terminal.Selain itu pedagang asongan dan
pedagang kaki lima dengan berbagai dagangannya yang berupa soto ayam
Lamongan,STMJ,rujak buah,warung kopi tenda dan tak lupa si mbah penjual sari
kedelai yang baru saja kubeli tadi juga ikut meramaikan suasana terminal yang
terbilang sumpek siang itu.Ketika tiba di pelataran terminal itu lalu
pemandangan selanjutnya adalah berjejer angkutan kota yang menuju berbagai
wilayah di kota Surabaya.
Tanpa sengaja saya tampak tertegun
dan mengawasi segala aktifitas dan kondisi serta isi terminal siang itu.Dari
pintu masuk terminal kini tampaklah dari kiri berbaris memanjang kebelakang
sebuah angkutan warna putih tulang
bertuliskan “N” yang beroprasi di daerah Petekan-JMP-Bratang sebagai
tujuannya.Lalu disebelah kanannya Angkutan bertuliskan huruf “S” warna biru tua
yang pada bagian samping badan mobil bertuliskan Joyoboyo-Bratang-Kenjeran
sebagai wilayah tujuannya.Disebelah Angkot “S” nampak sebuah angkutan yang
terasa tak asing lagi bagiku karena angkot itu merupakan kendaraan wajibku bila
pergi ke kampus.Angkutan yang berwarna coklat tua tersebut bertuliskan “WB”
dibagian depan kaca dan menuju jurusan Wonosari Lor-Karang Menjangan-Bratang
.Disebelahnya lagi berjejer angkutan warna Orange tua bertuliskan jurusan
JMP-Pasar Turi-Kupang-Bratang yang pada badan depan mobil bertuliskan huruf “Q”
yang senantiasa menjadi alternative tumpanganku bila sedang pulang kampung ke
tanah kelahiranku.Disebelah kanan angkot “Q”,terdapat angkot bertuliskan huruf
“BM” dan menuju ke wilayah Bratang-Kutisari-Menanggal dengan warna kuning muda
sebagai warna cat mobilnya.Dan yang paling pojok adalah angkot bertuliskan
huruf “RBK” yang menuju ke wilayah Rungkut-Bratang-Kenjeran berwarna Biru Muda
yang kelihatannya merupakan angkutan yang bisa dibilang paling sedikit dari
yang lainnya.Bila dijumlah angkutan kota yang beroprasi di Terminal Bratang
berjumlah enam angkutan dan porsi paling banyak dipegang oleh angkutan kota “S”
dan “Q”,hal ini karena jumlah konsumen kendaraan ini memang lebih banyak
dibanding yang lainnya.
Suasana terminal yang dipenuhi hiruk
pikuk penumpang dan sopir makin terasa ketika saat itu sebuah bis kota jurusan
Terminal Purabaya Bungurasih baru saja memasuki pelataran terminal dan
menurunkan seluruh penumpangnya.Ketika bis berhenti,para penumpang segera berhamburan
keluar dan di sekeliling bis tersebut para tukang becak,ojek dan para sopir
angkot dari berbagai jurusan dengan tanpa dikomando mempromosikan angkutan
mereka.Tampak disitu seorang sopir salah satu angkutan meneriakkan jasanya
dengan logat Madura yang terasa medok ditelinga saya “Ayo…WB..WB..Karang Menjangan,Wonosari,Ampel,Klampis,Bulak
Banteng..Langsung berangkat” .Tak berapa lama angkot WB telah terisi
penumpang dan hampir penuh,segera kulangkahkan kaki untuk masuk kedalam
angkutan tepat berada disamping pak sopir yang segera membukakan pintu angkot
karena memang agak sulit untuk dibuka.
Ketika sampai didalam angkot dan duduk disebelah pak
sopir,beliau rupanya tengah tersenyum menatap saya yang terlihat kerepotan
membawa perlengkapan kuliah dan tas yang super besar pula.Segera saja
kesempatan yang langka itu saya pergunakan untuk banyak mempelajari tentang
kehidupan seorang sopir angkutan umum seperti WB yang bagi sebagian penumpang
mengatakan bahwa angkot ini merupakan angkot terjelek di Surabaya.Bahkan,pernah suatu
ketika saya mendengar celotehan penumpang wanita kira-kira berusia lima puluhan
tahun yang berujar, “WB iku bemo paling elek di Suroboyo,wes kusem kabeh
nggak enek bel e mesisan”.Perkataan tersebut dalam bahasa Indonesia
berarti, “angkot WB itu bemo paling jelek di Surabaya,sudah kusam kondisinya
tidak ada belnya pula”
Sebenarnya saya tidak sebegitu
sependapat dengan pernyataan beberapa penumpang yang mengatakan bahwa angkot WB
terjelek di Surabaya.Hal ini saya buktikan dengan beberapa minggu terakhir ini
setiap saya menaiki angkot ini untuk menuju kampus tidak saya jumpai satu pun
angkot yang kondisinya rusak dan berlubang.Ketika saya tanyakan kepada salah
satu sopir ternyata dalam seminggu ini terdapat beberapa sopir baru yang selama
seminggu ini telah bekerja sebagai sopir angkot.Lebih lanjut lagi ternyata
angkot yang selama ini dipakai oleh para sopir sebagian besar menyewa dari
seorang juragan angkot yang ketika saya tanyakan siapa nama dan pekerjaan
juragan itu,mereka enggan menjawabnya.Biasanya disetiap angkot yang disewa oleh
seorang sopir itu dipegang oleh seorang sopir tetap dan terkadang bila si sopir
tetap sedang ada halangan akan diganti oleh seorang sopir pengganti atau dalam
bahasa jawanya disebut sebagai sopir serep.Namun,ada sebagian sopir yang
memang telah mempunyai angkot sendiri sehingga tidak ada pungutan untuk setoran
kepada juragan angkot yang bersangkutan.Perbandingan antara sopir angkot yang
menyewa dan sopir angkot yang telah memiliki angkot sendiri bisa dibilang
sebesar 10 : 1.
Angkutan kota yang dikemudikan pak
sopir disebelah saya pelan-pelan telah meninggalkan terminal.Namun,sebelum
beliau menyalakan mobil,tiba-tiba dari arah samping muncullah seseorang
laki-laki tambun dan berkumis tebal mendekati angkutan kami dan berbicara
dengan bahasa Madura yang sulit saya mengerti.Kemudian,pak sopir menyodorkan
uang receh lima ratusan kepada lelaki berkumis itu.Belakangan saya mengetahui
bahwa lelaki berkumis itu merupakan seorang makelar yang bertugas mencari
penumpang untuk beberapa angkot yang mengantri setiap lima menit itu.Setelah
pak sopir menyalakan mobil dan pemanasan mesin sebentar kira-kira lima menit,angkot
yang saya tumpangi pelan-pelan meninggalkan terminal dan siap untuk menaklukkan
jalan raya yang bila siang-siang begini tentulah kemacetan yang
menghambatnya.Angkutan kini berjalan dengan pelan ,ketika sampai pada sebuah
pom bensin yang berada sekitar 45 meter di sebelah kanan terminal pak sopir
membelokkan laju kendaraan menuju pom bensin tersebut untuk mengisi bahan bakar
angkotnya.Pak sopir tersebut turun sambil menginstruksikan kepada petugas pom
bensin bahwa ia membeli bensin sebesar 20.000 rupiah.Setelah selesai sesi
pengisian bahan bakar tersebut kembali pak sopir melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan selanjutnya saya
banyak berbincang dengan pak sopir mengenai bagaimana kehidupan para sopir
angkutan umum di Surabaya khususnya angkot WB yang saya tumpangi tersebut.Berdasarkan
penjelasan dari Pak Soedarmo (42 tahun),sopir angkutan yang saya tumpangi
rata-rata perjalanan pulang pergi dari Bratang-Bulak Banteng dalam sehari bisa
sampai 4-5 kali.Dalam perjalanan pulang-pergi setiap angkot selama 4-5 kali
tersebut penumpang yang naik tidak selalu penuh.Terkadang dalam sekali jalan
hanya terdapat 6-7 penumpang sehingga bila dijumlahkan maka antara pendapatan
dan jumlah setoran serta hal-hal perlengkapan lain seperti BBM,uang makan,iuran
dan pungutan-pungutan lain bisa saja tidak terbayar.Jika hal ini terjadi,maka
terdapat konsekuensi yang lumayan memberatkan sopir yaitu mereka harus
merelakan untuk menambah uang setoran pada hari selanjutnya.Bila pada hari
selanjutnya nasib mereka tetap atau lebih mengenaskan dari hari ini maka jumlah
setoran pun akan berlaku kelipatan.Bila nasib sedang baik dan jumlah penumpang
di setiap perjalanan membludak maka hal itu juga berpengaruh pada pendapatan
mereka.
Menurut sopir angkot WB yang lain dan enggan
disebutkan namanya bahwa tingkat
kesejahteraan sopir angkot bila dibandingkan antara pemerintahan Presiden
Soeharto dan era pasca Soeharto hingga sekarang ini sangat jauh.Bila pada era
Soeharto ,pendapatan bersih mereka bisa mencapai 100 – 300 ribu per-hari.Hal
ini karena pada zaman itu urbanisasi dari desa ke kota berkembang pesat bahkan
terkadang tak terkendali,selain itu jumlah kendaraan pribadi seperti sepeda
motor dan mobil dibatasi dengan adanya jaminan besar yang harus dibayar setiap
pengurusan perijinan berkendara.Sedangkan pada masa sekarang jumlah volume
kendaraan di jalan raya tak pernah dibatasi,bahkan iklan mobil dan motor dari
berbagai merek menjamur dalam masyarakat,pengurusan surat perijinan berkendara
yang relative mudah dan tentu saja persaingan dan penambahan sopir angkot yang
semakin banyak pun tak kalah berpengaruh pada tingkat kesejahteraan sopir yang
termaginalkan oleh zaman.
Kendaraan terus melaju lumayan kencang menyusuri
jalanan kota Surabaya yang agak lengang siang itu.Tiba-tiba saja dari arah
samping muncul angkot lain bernama WB yang berusaha mendahului kendaraan
kami.Keadaan pun semakin kacau tatkala pak sopir dari angkot yang saya tumpangi berteriak-teriak
dalam bahasa Madura yang tak saya mengerti.Sepertinya kata yang beliau
ungkapkan merupakan suatu umpatan sekaligus ajakan untuk berduel saling
mendahului.Hal yang terjadi kemudian kendaraan kami melaju kencang meliuk-liuk
bagai kesetanan membelah jalan raya di wilayah pertokoan Klampis.Ketika jarak
antara kendaraan kami dengan angkot dari sopir lain dirasa cukup jauh,terlihat
pak sopir disebelah saya bernafas lega.Keadaan seperti ini membuat nyali saya
untuk mempelajari dunia sopir semakin besar.Hal ini semakin menarik tatkala pak
sopir kemudian tersenyum kearah saya yang mungkin saat itu raut wajah saya
terlihat mengerut tanda berbagai pertanyaan akan senantiasa terlontar.Kemudian,beliau
pun berkata dalam bahasa Indonesia sambil terus melajukan kendaraannya, “Ya
begini mbak,kalau di jalanan antar sopir satu dengan yang lain itu ibarat
minyak dan air.Tapi kalau sudah turun dari jalanan kami seperti saudara kandung”.Ungkapan
itu semakin mengerutkan kening saya,kemudian beliau pun menjelaskan maksud dari
ungkapan itu yang lebih kurang bermakna kalau di jalanan antar sopir satu dan
lain itu terdapat semacam persaingan dalam hal perolehan penumpang.Tetapi bila
sudah berhenti mereka seperti keluarga yang umumnya saling membantu bila
terdapat kesusahan.
Angkot yang dikemudikan pak sopir terus melaju
memasuki jalanan dalam kampung daerah Jln.Srikana.Hal itu merupakan pertanda
kalau sebentar lagi saya akan turun dari angkot itu karena telah sampai di
jalan alternatif menuju kampus FIB .Ketika sampai pada pertigaan menuju Gedung
Diploma Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga,saya kemudian berujar “kiri
pak”,yang berarti saya meminta berhenti.Sebelum turun ,saya menyodorkan selembar
lima ribuan kepada beliau dan beliau pun kemudian merogoh sakunya dan
menyodorkan selembar dua ribuan sebagai pengembaliannya.Dalam hal ini meskipun
saya seorang mahasiswa maka ongkos angkot saya disamakan dengan penumpang
dewasa lainnya.Perlakuan menjadi berbeda tatkala penumpang berasal dari pelajar
yang hanya membayar dua ribu rupiah saja.Setelah angkot berlalu,saya melanjutkan
perjalanan memasuki area Gedung Diploma Fakultas Ekonomi dengan segudang
pertanyaan yang terus menerus berputar di kepala saya.
*******
Di hari berikutnya,saya kembali
menumpang angkot WB menuju ke kampus.Kali ini saya tidak lagi duduk disamping
pak sopir tetapi di jok bagian belakang sebelah kanan tepat dibelakang pak
sopir yang menurut pengamatan saya kira-kira berusia tiga puluhan tahun.Di
samping pak sopir terdapat seorang anak laki-laki yang terkantuk-kantuk dengan
menggenggam sebuah pisang raja yang belakangan menurut penuturan dari pak sopir
yang bernama Mohammad Sobari itu ,anak lelaki tersebut merupakan anaknya yang
berusia empat tahun.Anaknya terpaksa ia bawa karena istrinya kini tengah
mengasuh bayi berumur tujuh bulan dan tidak sanggup bila mengasuh keduanya
secara bersamaan.
Seiring dengan melajunya
kendaraan,satu per satu penumpang masuk ke dalam angkot bersiap menuju tempat tujuan
masing-masing.Jika saya amati selama menjadi konsumen tetap angkot ini selama
Semester pertama kuliah ,penumpang angkot ini sebagian besar merupakan para
wanita dari berbagai usia dan para laki-laki manula serta sebagian laki-laki
muda yang menjadikan angkot sebagai sarana transportasi ke tempat kerja.Para
wanita yang menumpang rata-rata merupakan seorang pekerja di sekitar Ruko
Klampis,ibu-ibu yang menuju ke Rumah Sakit Dr.Soetomo dan Rumah Sakit Haji
Surabaya dan sebagian pelajar SMA,SMP, mahasiswa Unair,Ubaya dan STIESIA.Sedang
para lelaki biasanya merupakan pekerja urban dari luar kota yang oper angkot
dari bis kota jurusan Bungurasih-Bratang,para lelaki manula yang menuju ke
Rumah Sakit Dr.Soetomo dan Rumah Sakit Haji Surabaya dan sebagian kecil pelajar
dan mahasiswa yang menjadikan angkot sebagai sarana transportasi wajib mereka.Bila
saya jumlahkan maka muatan maksimal angkot ini berjumlah 12 orang,dengan
perincian dua penumpang di sebelah sopir,tiga penumpang di jok sebelah
kiri,lima orang di samping kanan jok dan dua orang di dekat pintu masuk
angkot.Bahkan,jika penumpang sedang membludak maka muatan angkot bisa sampai
15-16 orang.Imbas dari pembludakan ini tentu saja para penumpang harus menahan
napas dan bersiap menyeka keringat yang siap menetes kapan saja.
Hal menarik yang saya dapatkan
apabila berada dalam angkot adalah adanya perbincangan ringan antar penumpang
seputar kehidupan mereka atau bisa juga perbincangan seputar
keduniawiaan,ekonomi,politik,kebijakan pemerintah bahkan hal-hal yang menurut
saya merupakan hal yang menyangkut privasi seseorang akan tersampaikan melalui
perbincangan ringan didalamnya.Meskipun,saya enggan berkomentar jika mereka
sudah berbincang karena cenderung mendengarkan maka secara tidak langsung saya
dapat dengan mudah mengambil hikmah dari setiap aktivitas yang
terjadi.Bahkan,saya berkali-kali mendapatkan berbagai informasi penting
mengenai fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat luas tanpa harus
bersusah menonton tv atau mengunjungi tempat yang menjadi objek perbincangan
mereka.Pernah suatu ketika saya tanpa sengaja mendengar seorang ibu-ibu berusia
sekitar empat puluhan tahun bercerita tentang suka duka sebagai masyarakat
menengah-kebawah dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang meski telah menunjukkan
kartu Jamkesmas tetap dipungut biaya tambahan.Selain itu salah satu penumpang
yang baru saja mengurus akte kelahiran anaknya secara gratis di kantor Samsat
Polres Surabaya mengeluh atas antrian panjang pengambilan nomer urut dan
kinerja petugas yang menurutnya kurang ramah dalam melayani tamu.Saya menilai
setiap perbincangan dan interaksi yang terjadi dalam angkot terlihat mengalir
begitu saja tanpa ada semacam penyekat atau kepura-puraan didalamnya.
Ketika angkot yang saya tumpangi
tepat berada di depan Perpustakaan Daerah Jawa Timur daerah Menur
Pumpungan.Tiba-tiba angkot berhenti sejenak,pak sopir merogoh sakunya dan
memberikan dua lembar uang dua ribuan kepada seseorang yang saya lihat telah standby
menunggu setiap angkot yang melewati jalan itu berhenti tepat didepannya.Ketika
saya tanyakan kepada pak Sobari (nama sopir),perihal apa fungsi dari pungutan
itu beliau dengan senang hati menjawab dengan logat Maduranya, “ Itu uang
iuran yang harus dibayarkan setiap angkot perharinya mbak.Perinciannya seribu
untuk upah penariknya,dua ribu untuk kas,dan seribunya lagi dikembalikan kepada
para sopir lagi setiap bulannya”.Saya pun bertanya kembali tentang kegunaan
dari pungutan itu secara detailnya,kembali beliau menjawab dengan senang hati
dan senyum dikulum tersembul dibalik kumis tipisnya, “ Menurut kesepakatan
dari kelompok para sopir iuran itu untuk pembuatan SIM ,jaga-jaga kalau
ditilang polisi,persediaan tambahan hari raya Idul Fitri dan selebihnya untuk
jaga-jaga kalau dijalan angkot tiba-tiba mogok ditengah jalan dan perlu
perbaikan mesin di bengkel.Kan mbak tau sendiri kalau WB itu rata-rata angkot
tua yang kadang rewel diajak cari duwit”.Saya pun menganggukkan kepala
mendengar penuturan pak Sobari tersebut.
Setibanya di kampus,saya mencoba
menghitung dari berbagai pungutan yang harus dibayar oleh seorang sopir selama
dalam perjalanan pulang-pergi dari Bratang-Bulak Banteng.Jika jumlah angkot WB
yang beroprasi setiap harinya berjumlah 20 buah,maka pungutan yang dibayarkan
setiap harinya adalah:
·
Makelar 500,00 × 20 = 10.000,jika 4 kali
perjalanan pulang- pergi berarti : 10.000 ×4 = 40.000 setiap harinya.
·
Penarik 1.000 × 20 = 20.000,jika 4 kali
perjalanan pulang-pergi berarti : 20.000 × 2 = 40.000 setiap harinya.
·
Kas 2.000 × 20 = 40.000,jika 4 kali
perjalanan pulang-pergi berarti :40.000 ×2 = 80.000 setiap harinya.
·
Dikembalikan ke sopir 1.000 × 20 = 20.000,jika 4 kali
perjalanan pulang-pergi berarti : 20.000 × 2 = 40.000 setiap harinya.
·
Membayar di Loket masuk
menuju terminal dijaga petugas dari Dinas Perhubungan 500 × 70 (setiap angkot yang masuk,bila
perhari ada 70 angkot) =35.000 ; Jika per-angkot ada 4 kali perjalanan
pulang-pergi berarti : 35.000 × 2 = 70.000 setiap harinya.
Bila dihitung perharinya saja jumlah pungutan yang
harus dibayar keseluruhan angkot mencapai 200.000 tiap hari.Maka dalam hal ini
jumlah perputaran uang dan transaksi yang terjadi menurut penilaian saya
sangatlah rumit.Keluar dari segala konteks tentang kerumitan yang melingkupi
dalam kehidupan sehari-hari kaum sopir WB di Surabaya,hal yang menjadi garis
besar yang dapat saya pelajari dari pengamatan singkat ini menunjukkan bahwa
dibalik aktifitas keseharian masyarakat Surabaya yang seakan tak pernah
berhenti pada perputaran jam ini, terdapat kaum marginal seperti para sopir
yang bersiap menyambung hidup demi menafkahi keluarga mereka meski resiko dan pengorbanan
mereka terkadang memunculkan berbagai perspektif penilaian yang heterogen.
1 komentar:
great, good job
Posting Komentar